Tentang RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2025

JAKARTA, jurnal-ina.com – Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang diwakili oleh Pengurus Pusat Interim DR Suhardi Somomoeljono, S.H., M.H, DR Harry Ponto, S.H., M.H., Sugeng Tegus Santoso, S.H., M.H., Drs. Taufic CH, S.H., M.H, Prof. Dr.Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H., pokok-pokok pikiran secara garis besar telah disampaikan melalui Ketua Badan Legislasi Nasional (BALEG) DPR RI, Dr. Bob Hasan, S.H., M.H. Masukan untuk RUU KUHAP tersebut pada prinsipnya sebagai terurai berikut.

PENDAHULUAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 2023, melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003. Namun demikian, dalam dalam KUHP baru itu belum memuat atau mengatur adanya Hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga secara teorisasi tidak memungkinkan jika KUHP baru dalam kedudukannya sebagai Hukum Materiil, dapat dilaksanakan, jika hukum formilnya belum diundangkan. Sebab, kedudukan hukum KUHP baru itu secara substansi merupakan ketentuan atau norma yang bersifat abstrak, sehingga hanya dapat dijalankan, apabila hukum formilnya (KUHAP) telah diundangkan, mengingat kedudukan hukum formil itu bersifat aktif dan konkrit, yang dapat melaksanakan segala proses, jika terjadi perbuatan pidana materiil. Mempertimbangkan bahwa menurut UU Advokat Nomor 18 Tentang Advokat, kedudukan advokat, selaku penasehat hukum, dalam nomenklatur sebagai penegak hukum, sama halnya dengan, polisi, jaksa dan hakim. Untuk itu dalam perspektif persamaan kedudukan sesama penegak hukum, kedudukan advokat selaku penegak hukum, wajib diperhatikan adanya peran dan fungsinya dalam KUHAP, sehingga terjadi kesederajatan melaksanakan tugas penegakan hukum, dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system)

Dalam penguatan kedudukan Advokat dalam RUU KUHAP perlu disusun secara sistematis, yang bersifat fungsional, dalam sistem peradilan pidana, dengan menempatkan posisi advokat, sesuai porsi dan urgensinya, berdasarkan UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 (UU Advokat) dan berdasarkan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) yang telah mengakui berlakunya KEAI dalam kedudukannya sebagai Hukum Positip, berdasarkan Pasal 33 UU Advokat. Antara UU Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia, secara hukum merupakan batang tubuh yang tidak dapat dipisahkan secara sistemik, dalam suatu proses pemberlakuannya (berlakunya). Sebab, UU Advokat secara hukum, merupakan hukum materiilnya para advokat, dan KEAI, adalah merupakan hukum formilnya para advokat. Dengan demikian, secara logika hukum tidak dapat terbantahkan bahwa, UU Advokat sebagai hukum materiil, hanya dapat dijalankan, apabila Kode Etik Advokat Indonesia selaku hukum formil diberlakukan. Secara sistemik, UU Advokat sebagai pedoman, ketentuan atau norma yang bersifat abstrak, hanya dapat dijalankan jika KEAI yang bersifat dinamis, dapat dilaksanakan. Berdasarkan teori sebab akibat, dapat dijelaskan bahwa, UU Advokat selaku hukum materiil, sebagai suatu sebab, hanya dapat dilaksanakan oleh KEAI selaku hukum formil, sebagai suatu akibat. Dalam klausula logika umum, dapat diterangkan sebagai berikut, misalkan, disebabkan seorang advokat, telah melanggar UU Advokat, akibatnya, seorang advokat dapat dihukum diberikan sanksi, berdasarkan hukum formilnya, yaitu Kode Etik Advokat Indonesia.

MATERI RUU KUHAP

– Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali
RUU KUHAP, sebaiknya memuat dalam pasal yang khusus untuk advokat, wajib menegaskan, dalam pasal, yang secara tegas dan jelas, menyebutkan bahwa, UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan Kode Etik Advokat Indonesia, yang telah ditetapkan oleh KKAI pada tanggal 23 Mei 2002, dan ditanda-tangani di Jakarta Pada Tanggal 1 Oktober 2002 , merupakan UU yang bersifat khusus, sehingga ketentuan yang terdapat dalam RUU KUHAP, sebagai UU yang bersifat umum, atau berlaku untuk umum, yang berlaku bagi seluruh warga negara, wajib menempatkan, sifat kekhususannya, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam UU Advokat (Lex Specialis Derogat Legi Generali).

– Asas Legalitas, Obstruction Of Justice, Contemp Of Court
Setiap advokat yang sedang melaksanakan tugasnya selaku penasihat hukum, baik dalam ruangan persidangan, maupun di luar ruangan persidangan, jika dianggap telah melakukan perbuatan yang bersifat menghalang-halangi proses penegakan hukum (Obstruction Of Justice), dan atau berlaku tidak senonoh, atau tidak sopan dalam persidangan, menghina peradilan, yang dapat mengganggu jalannya persidangan (Contemp Of Court), dapat dilakukan proses penyelidikan-penyidikan, oleh Aparat Penegak Hukum (APH), dengan syarat, adanya rekomendasi terlebih dahulu, dari Dewan Kehormatan Advokat Indonesia (DKAI), yang telah dibentuk oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), sebagai Induk Organisasi Advokat, selaku pelaksana UU Advokat, berdasarkan ketentuan hukum positif yang berlaku, Pasal 33 UU Advokat, Juncto Pasal 22 KEAI ayat (3), Juncto SEMA Nomor KMA/44/III/2002 ( Asas Legalitas ).

– Asas Quasi-Prosecutorial
Tingkah laku, atau perbuatan advokat yang tidak senonoh atau tidak sopan dalam persidangan, yang dapat dipandang sebagai menghina pengadilan, atau tidak menghormati pengadilan yang dapat mengganggu jalannya persidangan (Contempt Of Court), aparat penegak hukum (APH), dapat membuat laporan adanya pelanggaran kode etik. Dan, atau hakim yang menyidangkan, melalui pimpinan sidang, selaku ketua majelis Hakim, dapat secara langsung, melakukan tindakan yang bersifat mengadili, kepada advokat dengan memberikan sanksi baik berupa hukuman badan, atau larangan bersidang selama beberapa waktu tertentu.Hakim dalam hal tersebut, dapat bertindak baik selaku penuntut dan sebagai hakim pemutus, hakim memiliki fungsi ganda sebagai Penuntut dan juga sebagai Hakim (Quasi-Prosecutorial).

– Asas Equality Before The Law
Barang siapa, baik subyek hukum orang, maupun subyek hukum badan hukum, apabila menerima surat panggilan, dan atau surat undangan, dan atau surat klarifikasi, dari Aparat Penegak Hukum (APH), dan subyek hukum tersebut, dapat membuktikan telah menunjuk advokat sebagai kuasa hukum, maka APH, dapat menjalankan kewenangannya berdasarkan ketentuan UU yang berlaku, apabila subyek hukum didampingi oleh advokat selaku kuasa hukum yang ditunjuk, baik kedudukan subyek hukum selaku saksi maupun tersangka, dalam rangka perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (Equality Before The Law).

– Miranda Rule
Bahwa seorang tersangka, atau terdakwa, memiliki hak untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh APH, serta hak untuk memiliki advokat selaku penasihat hukum, dan APH wajib memberitahu tersangka, tentang hak-hak mereka sebelum melakukan tugas dan wewenangnya, baik pada tindakan penyelidikan, maupun penyidikan dan/atau interograsi.Hak-hak yang wajib dihomati oleh APH adalah: Hak untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan; Hak untuk diam; Hak untuk memiliki advokat/pengacara; Hak untuk diberitahu tentang hak-haknya. Pemberitahuan atas adanya hak-hak tersebut, dilakukan oleh APH.Ketentuan tersebut untuk melindungi hak-hak, tersangka, dan terdakwa, serta untuk mencegah penyelahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berwenang (Miranda Rule).

– Asas Brotherhood of the Enforcement, Law Enforcement
Advokat yang sedang melaksanakan tugasnya, selaku penasihat hukum, berdasarkan surat kuasa yang dimilikinya , tidak dapat dilakukan penangkapan, dan atau penahanan, oleh Aparat Penegak Hukum baik dalam persidangan, maupun di luar persidangan, dalam rangka menghormati hak dan kewajiban advokat, dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban klien yang sedang ditangani, hak dan kewajiban antara advokat dan klien secara khusus wajib dihormati oleh Aparat Penegak Hukum, baik kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, dalam kerangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Dengan demikian antara APH dan ADVOKAT, tercipta suasana yang bersifat kekeluargaan, dalam frame penegakan hukum (Law Enforcement) bukan sebaliknya, sifat yang saling merusak, menghina dan menghancurkan (Brotherhood of the Enforcement).

– Asas Shared Ethiics in Law Enforcement, Law Enforcement Community Ethiics
Hakim, Jaksa, Polisi, selaku aparat penegak hukum (APH), yang secara khusus tunduk pada undang-undang, yang mengatur APH dalam mengemban tugasnya masing-masing, agar supaya tidak terjadi benturan kepentingan, dalam melaksanakan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem), perlu adanya etika bersama, yang dipersiapkan secara bersama, dalam suasana dan semangat menjaga, tertwujudnya penegakan hukum, demi untuk tercapainya kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum, sehingga perlu dipersiapkan adanya Etika Komunitas Penegak Hukum (Law Enforcement Community Ethiics).Dalam kenyataannya, jika Advokat dan APH, melaksanakan tugasnya dalam suatu sistem peradilan pidana, tidak dilandasi adanya etika bersama, yang harus dirancang bersama, masyarakat pencari keadilan (justitiable), yang akan terkena dampaknya, dan berpotensi dirugikan, baik secara moril maupun materiil.

PASAL TAMBAHAN DALAM RUU KUHAP

Keberadaan advokat selaku penegak hukum, yang secara khusus memiliki wewenang, dalam hal mendampingi klien, dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice System), maka dalam kerangka tujuan penegakan hukum, dalam negara hukum yang demokratis, wajib mencantumkan kedudukan advokat, dalam pasal kusus di RUU KUHAP dan/atau dapat dicantumkan dalam pasal peralihan, sesuai dengan Keputusan dari pihak pembentuk Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP Indonesia).

PENUTUP

Penegakan Hukum (Law Enforcement) dari perspektif tujuan hukum, dalam mencapai kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan, hanya dapat terwujud, dalam suatu Negara Hukum, apabila Hakim, Jaksa, Polisi, Advokat, masing-masing memiliki Pilar Organisasi Nasional yang sederajad, yang memiliki dasar hukum, dalam kedudukan sebagai hukum publik, bukan hukum privat keperdataan, sehingga Pilar Organisasi Penegak Hukum, memiliki wewenang terhadap anggotanya, secara mandiri berwibawa dan berdaulat penuh terhadap anggotanya.

Secara Ex-Officio, Anggota KKAI adalah seluruh Organisasi Advokat, yang secara limitative, telah disebutkan dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003, dan keanggotaannya dapat diperluas, ditambah Organisasi Advokat, yang lahir setelah UU Advokat diundangkan. Ketua Umum dan Sekretaris Jendral Organisasi Advokat, secara Ex-Officio, adalah pengurus KKAI. Kepengurusan KKAI secara definitive, baik di pusat maupun di daerah, dibentuk setelah dilakukan Rapat Musyawarah KKAI.

Jakarta, 15 Maret 2025

Hormat Kami,
Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI)

– Dr. Suhardi Somomoeljono, S.H., M.H (Ketua)
– Dr. Harry Ponto,S.H., M.H. (Sekretaris)
– Sugeng Tegus Santoso, S.H., M.H (Bendahara)
– Drs. Taufic CH, S.H., M.H. (Representative)
– Prof. Dr. Taufiqurrohman Syahuri,S.H., M.H. (Senior Advisor).

 

Sekretaris Dr. Harry Ponto,S.H., M.H. serta Sugeng Tegus Santoso, S.H., M.H (Bendahara). Foto: DW.

Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *