JAKARTA, jurnal-ina.com – Klasemen liga korupsi yang ramai di media sosial, harusnya menjadi teguran keras bagi semua lembaga penegak hukum (APH). Fakta dari ramainya satire tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa selama ini APH hanya membangun pertunjukan pertandangin kasus agar disebut hebat. Tapi, pengembalian hasil korupsi dari kasus yang telah ditangani malah paling minim.
Uang-uang rakyat yang dikorupsi itu hanya ditindak sebagai atas nama penegakkan hukum dan tidak pernah benar-benar kembali kepada rakyat. Hal ini harus dijawab KPK dan Kejaksaan, karena seharusnya APBN yang mereka pakai juga harus dapat mengembalikan APBN yang dicuri kepada rakyat.
Dari data sepanjang periode 2019-2024, KPK telah melaporkan pengembalian hasil korupsi sebesar Rp2,5 Triliun lebih. Sementara Kejaksaan sangat jarang sekali melaporkan pengembalian hasil korupsi dari kasus yang mereka tangani. Padahal selama ini lembaga adhyaksa ini yang paling banyak memberitakan potensi kerugian negara yang super besar serta menyita banyak aset hasil korupsi. Sayangnya tidak banyak data yang rinci melaporkan recovery aset korupsi oleh kejagung.
Recovery Asset
Meski demikian, recovery asset hasil korupsi oleh kedua institusi ini masih sangat terlalu sedikit dibanding kerugian negara yang telah di korupsi. Jumlah kerugian negara yang selalu terhitung dalam minimum bilangan triliun, menunjukkan penegakkan hukum masih setengah hati. Pun wajar setengah dari masyarakat menilai pemberantasan korupsi hanya untuk kepentingan politik.
Bukan hanya APH, pengembalian hasil korupsi juga harus jadi tanggungjawab Kemenkeu. Sebagai bendahara negera, Menkeu harusnya mengumumkan uang dan aset hasil pengembalian korupsi ini benar telah diterima secara baik atau hanya publikasi media semata. People right to know, rampasan dari korupsi itu sudah digunakan untuk pos APBN dan program apa saja? Jangan sampai tindakan pemberantasan korupsi hanya menjadi ajang “giat rampok ketemu maling”.
Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK)
Ahmad Hariri
081291964433
Ahmad Hariri