IPW: Copot Kapuspenkum Kejaksaan Agung Yang Merendahkan Posisi Institusinya

JAKARTA, jurnal-ina.com – Jaksa Agung ST Burhanuddin harus mencopot Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar yang telah menyalahgunakan posisinya dengan cara merendahkan Institusi yang menyamakan Institusi Kejaksaan Agung sama dan sebangun dengan personal Febrie Adriansyah Jaksa Agung Muda pidana Khusus.

Hal ini seperti dikutip pada artikel www.kompas.com dengan judul: “Jampidsus Dilaporkan ke KPK, Kejagung: Satu Insan Diperlakukan Tidak Adil, Berarti Hadapi Institusi ” yang tayang pada hari Rabu, 12 Maret 2025 pukul 13.00 WIB.

Pada berita itu disebutkan, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar menegaskan, satu anggota Kejaksaan atau Adhyaksa yang diperlakukan tidak adil, sama artinya dengan menghadapi institusi Kejaksaan Agung.

“Bagi kami, satu orang insan Adhyaksa yang diperlakukan tidak adil itu sama dengan (berhadapan dengan) seluruh institusi,” ujar Harli saat dimintai tanggapan soal pelaporan Jampidsus Febrie Adriansyah ke KPK, Rabu (12/3/2025).

Oleh karenanya, Indonesia Police Watch (IPW) menilai, penyataan ini telah merendahkan institusi Kejaksaan Agung yang adalah institusi negara menjadi rendah dan selevel dengan seorang Febrie. Padahal, institusi Kejaksaan Agung adalah lembaga berdasarkan norma-norma ketatanegaraan di bidang penegagakan hukum tidak setara dengan seorang Febrie Adrianyah yang sedang menjabat sebagai Jampidsus Kejagung yang punya potensi melakukan kesalahan dan bisa diproses hukum bila terbukti melakukan pelanggaran etik atau pelanggaran hukum.

Tindakan Harly Siregar, Kapuspenkum yang menempatkan seorang Febri Adriansyah Jampidus sama seperti lembaga kejaksaan mempertontonkan pola pikir sempit dan anti kritik, bahkan telah melampaui batas karena simbol Kejaksaan Agung adalah Jaksa Agung yang itupun tidak sama dengan institusi kejaksaan. Sebab, posisi jabatan sekedar penugasan yang akan berakhir, sementara institusi Kejakaan Agung akan terus berdiri selama NKRI berdiri.

Tindakan Koalisi Sipil Anti Korupsi melaporkan Febrie Ardiansyah yang menjabat Jampidsus Kejagung ke KPK adalah tindakan legal yang dilindungi Undang-Undang dan peraturan lainnya.

Pelaporan ke KPK tersebut merupakan wujud pelaksanaan ketentuan hukum dan pelaksanaan hak masyarakat dalam peran serta pemberantasan korupsi. Hal ini sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka 4 UU 19 tahun 2019, pasal 41 UU Tipikor dan pasal 2 PP 43 tahun 2018 tentang hak masyarakat untuk berperan serta dalam pemberantasan tipikor.

Dalam pasal 7 Peraturan Pemerintah tegas diatur bahwa peran serta masyarakat adalah dengan membuat laporan, dalam hal ini laporan kepada KPK. Artinya laporan kepada KPK terkait dugaan tipikor Febri Adriansyah. Jampidsus adalah merupakan pelaksanaan dari perundang-undangan dan merupakan proses penegakan hukum.

Sehingga, saat melaksanakan haknya, masyarakat yang menjadi pelapor dilindungi secara hukum, hal ini sebagaimana diatur secara tegas di dalam Pasal 12 PP 43 tahun 2018, perlindungan hukum bagi masyarakat yang melaksanakan haknya untuk berperan serta dalam pemberantasan korupsi. Bahkan masyarakat dapat diberikan penghargaan berupa piagam dan premi sesuai pasal
42 UU Tipikor dan pasal 13 PP 43 tahun 2018.

Oleh sebab itu, pernyataan Kapuspenkum Kejagung terdapat frasa “satu orang insan Adhyaksa yang diperlakukan tidak adil itu sama dengan (berhadapan dengan) seluruh institusi”, secara leksikal maupun gramatikal jika dikaitkan dengan peristiwa pelaporan masyarakat kepada KPK terhadap Jampidsus dapat dimaknai “siapapun yang melaporkan jaksa atas dugaan tindak pidana korupsi akan berhadapan dengan instansi kejaksaan”. Makna secara sederhana adalah ancaman kepada siapapun pelapor yang melaporkan dugaan tipikor, jika yang dilaporkan petinggi Kejaksaan Agung.

Sehingga tindakan Kapuspenkum Kejagung yang memberikan ancaman merupakan perbuatan yang merendahkan hukum dan keadilan, mengingat apa yang dilakukan masyarakat sipil adalah merupakan wujud perintah undang-undang dalam penegakan hukum di bidang tipikor. Pernyataan ancaman itu bertentangan dengan sumpah jabatan jaksa sebagaimana dalam ketentuan hukum sebagaimana dimaksud di dalam poin 15 pasal 10 ayat 2 UU nomor 11 tahun 2021 yang berbunyi: “Bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan, serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan sungguh-sungguh, saksama, objektif, jujur, berani, profesional, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, gender dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya serta bertanggung-jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara.”

Sampai kini, sumpah jabatan itu wajib dijunjung tinggi sebagaimana juga diatur di dalam pasal 8 huruf b Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2024 tentang kode perilaku jaksa dan TATA CARA PEMERIKSAAN ATAS PELANGGARAN KODE PERILAKU JAKSA tentang profesionalitas jaksa. Karenanya dalam kaitan statmen di atas, Kapuspenkum tidak profesional dan melanggar sumpah jabatan serta etik.

Ancaman, Intimidasi dan Pelanggaran Etik

Seharusnya, Kapuspenkum Kejagung menghormati proses penegakan hukum tipikor melalui laporan Koalisi Masyarakat Sipil ke KPK berdasarkan ketentuan Pasal 12 PP 43 tahun 2018 dan pasal 42 UU TIPIKOR dan pasal 13 PP 43 tahun 2018. Namun yang terjadi sebaliknya, pelapor mendapatkan ancaman dan intimidasi dari Kapuspenkum Kejagung dan jelas kapuspenkum telah melanggar etik dan ketentuan hukum tersebut.

Pernyataan Harly Siregar Kapuspenkum, dapat menghalangi dan menurunkan peran serta masyarakat menurun peran serta masyarakat karena dapat dianggap melaporkan seorang pejabat Kejaksaan Agung yang diduga melanggar hukum peran serta adalah “menyerang” institusi Kejaksaan Agung. Hal ini sangat bertentangan dengan perintah undang-undang kepada kejaksaan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 30 ayat 3 huruf a UU Kejaksaan, yang tegas menyebutkan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat.

Dengan ancaman itu, bukannya menimbulkan kesadaran hukum dan peningkatan keinginan masyarakat untuk berperan serta dalam penegakan hukum tipikor, maka yang terjadi nantinya menimbulkan ketidak pedulian masyarakat dan menurunnya pemahaman masyarakat tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

Bahkan, tindakan Kapuspenkum Kejagung tersebut bermakna intimidatif dan kontra produktif dengan kewenangan kejaksaan dalam pemberantasann korupsi yang membutuhkan peran serta masyarakat. Hal ini merupakan pelanggaran atas ketentuan dalam pasal 3 huruf d Peraturan Kejaksaan Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI yang mana berbunyi: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kejaksaan menyelenggarakan fungsi: penyelenggaraan penegakan hukum baik preventif maupun represif yang berintikan keadilan di bidang pidana”.

Di samping sebagai ancaman dan intimidasi tersebut, tindakan Harly Siregar, Kapuspenkum Kejagung itu telah melanggar etik karena mementingkan dan menunjukan keberpihakan bukan pada kepentingan umum, yaitu penegakan hukum atas extra ordinary crime (Tipikor), melainkan terkesan melindungi Febri Adriansyah yang sedang dilaporkan ke KPK.

Tindakan Kapuspenkum itu adalah pelanggaran kode etik sebagaimana dimaksud di dalam pasal 2 huruf b Peraturan Kejaksaan RI Nomor 4 Tahun 2024 yang berbunyi: “Jaksa dalam menjalankan profesi Jaksa melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya sebagai: pejabat yang mewakili kepentingan negara, pemerintah dan kepentingan umum (openbaare ministrie) dan juga pelanggaran terhadap ketentuan dalam pasal 6 huruf a dan huruf h Peraturan Kejaksaan Nomor 4 tahun 2024 yang berbunyi “Untuk menjunjung tinggi nilai integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, Jaksa wajib: menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; melayani dan melindungi kepentingan umum”.

Yang pasti, pernyataan Kapuspenkum Kejagung tersebut tidak menjunjung tinggi nilai kebijaksanaan yang wajib dimiliki jaksa. Sebagaimana diatur di dalam pasal 11 huruf d Peraturan Kejaksaan nomor 4 tahun 2024 yang menyatakan: “untuk menjunjung tinggi nilai kebijaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, Jaksa dilarang: menggunakan kewenangan atau kedudukannya untuk melakukan intimidasi, ancaman kekerasan dan/ atau kekerasan kepada orang lain atau pemanfaatan relasi kuasa terhadap orang lain”.

Indonesia Police Watch yang bergabung dalam koalisi Sipil anti Korupsi bersama denganTim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI ) dan KSST mendesak Jaksa Agung mencopot Kapuspenkum Harly Siregar atas pernyataannya tersebut agar kepercayaan publik pada citra Kejaksaan Agung yang sudah terbangun baik, tidak terganggu.

Salam
HORMAT KAMI

Sugeng Teguh Santoso
Ketua IPW
082221344458

Sugeng Teguh Santoso

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *