JAKARTA, jurnal-ina.com – Universitas Paramadina sukses menggelar Paramadina Presidential Lecture dengan menghadirkan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebagai pembicara utama, Rabu (26/2/2025).
Acara bertema “Masa Depan Multilateralisme di Tengah Ketidakpastian Ekonomi-Politik dan Keamanan Global” ini berlangsung secara luring di Universitas Paramadina Kuningan, Trinity Tower Lt.45. Diskusi akademik ini dimoderatori Ahmad Khoirul Umam dan dihadiri civitas akademika serta para pemangku kepentingan di bidang politik dan ekonomi.
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menyampaikan apresiasi atas kehadiran SBY dalam forum akademik ini. Beliau mengenang masa kepemimpinan SBY sebagai Presiden yang bertepatan dengan periode pengabdiannya di DPR-RI, menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan kariernya.
Mengawali paparannya SBY mengungkapkan kedekatan dirinya dengan Cak Nur dan rektor rektor-Universitas Paramadina lainnya. mulai dari Anies Baswedan, Firmanzah hingga Rektor yang saat ini menjabat Prof Didik J. Rachbini.
Selanjutnya SBY membahas perubahan besar dalam tatanan global sejak Perang Dunia II hingga era kontemporer. Beliau menjelaskan transisi dari sistem G-8 ke G-7 akibat keluarnya Rusia, serta dampak meningkatnya fenomena ultranationalism, unilateralism dan isolationism yang mengancam eksistensi multilateralisme dunia.
“Pertanyaan besar yang muncul saat ini adalah, apakah G20 yang dibentuk pada 2008 masih relevan dengan perubahan tatanan dunia? Begitu pula dengan masa depan G7 dan BRICS. Indonesia, yang kini telah resmi menjadi anggota BRICS, harus siap menghadapi tantangan global dan menavigasi posisi strategisnya,” ujar SBY.
Memiliki Pengaruh Besar
Dia menyoroti peran tiga pemimpin dunia yang memiliki pengaruh besar dalam geopolitik global saat ini, yaitu Presiden Xi Jinping, Presiden Vladimir Putin dan Presiden Donald Trump. Ketiganya, menurut SBY, memiliki tiga elemen utama yang memungkinkan dominasi mereka di percaturan dunia, yakni kekuatan ekonomi, kekuatan militer dan kekuatan teknologi.
SBY juga mengangkat isu tentang semakin melemahnya multilateralisme akibat kebijakan ‘America First’ yang diterapkan oleh Presiden Trump, serta semakin kuatnya peran Rusia dan China di panggung internasional. Hak veto yang dimiliki oleh lima negara besar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun kini dipertanyakan, mengingat hanya segelintir negara yang dapat mempengaruhi keputusan global.
“Masa depan lembaga-lembaga internasional seperti Bretton Woods, IMF, World Bank dan WTO kini terancam oleh perubahan besar dalam sistem ekonomi global. Begitu pula dengan ASEAN, yang harus diperkuat sebagai warisan para pendahulu demi menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara,” tambahnya.
SBY menegaskan bahwa peran ASEAN sebagai organisasi regional harus terus dijaga dan diperkuat. Indonesia, sebagai anggota BRICS, memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas kawasan serta memperkuat kerjasama antar negara-negara ASEAN di tengah dunia yang semakin terfragmentasi.
“Sehingga peran ASEAN sebagai organisasi regional harus tetap dijaga dan diperkuat. Indonesia, yang merupakan anggota BRICS, harus menjadi aktor penting menjaga stabilitas kawasan dan memperkuat kerjasama antar negara-negara ASEAN,” pungkasnya.
UP – Endot Brilliantono
Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, pembicara inti pada Paramadina Presidential Lecture. Foto: UP.