Oleh: Suroto
Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang
JAKARTA, jurnal-idn.com – Sadar atau tidak, sistem kapitalisme hari ini telah menghegemoni manusia agar tunduk pada satu tata aturan yang tidak lagi rasional. Sebut saja misalnya dalam soal sistem ekonomi, kita disuruh menerima secara buta sistem pembagian ekonomi yang tidak adil serta sistem kepemilikan perusahaan esklusif di tangan pemodal semata.
Manusia di seluruh dunia hingga hari ini, secara massal, diminta menerima kebodohan sistem pembagian keuntungan perusahaan yang tidak adil dengan hanya berikan seluruh keuntungan perusahaan pada pemilik modal. Padahal keuntungan itu bukan hanya dihasilkan dari kontribusi kapital finansial, melainkan juga atas jerih payah keringat buruh, pemikiran pekerja dan juga pengorbanan konsumen.
Tak hanya itu, bahkan seluruh keputusan menyangkut nasib hidup para pekerja ditentukan oleh pemilik modal kapital sepenuhnya. Nasib buruh atau pekerja di perusahaan itu diputuskan oleh pemegang modal kapital semata.
Pekerja disuruh menerima secara given, bahwa aturan main yang tidak adil itu sebagai kewajaran umum. Mereka tidak memiliki saluran aspirasi kecuali hanya melalui cara demonstrasi jalanan. Tak hanya pekerja, konsumen si pembayar pendapatan dan pemberi keuntungan perusahaan bahkan kehilangan haknya untuk turut menerima jamiman kualitas produk yang mereka beli.
Pekerja, konsumen dan juga produsen kecil penyedia bahan baku semua menggantungkan nasib pada segelintir pemilik modal perusahaan. Perusahaan sebagai lembaga pelayanan bisa bertindak semena-mena dengan menggaji buruh dengan murah, merusak alam, pekerjakan anak, menggusur mereka yang lemah dan bahkan memproduksi kualitas barang yang sepenuhnya abaikan akibat buruk bagi konsumen.
Para pemilik perusahaan kapitalis itu dengan kekuatan akumulasi keuntungan dan kekayaanya bahkan dapat dengan mudah untuk membeli aturan negara, menyogok pejabat, membiayai elit politik, demi kepentinganya. Mereka semakin lama bertambah kuat dan bahkan menjadi kekuatan supra negara. Mengangkangi kepentingan rakyat banyak.
Idealisme Koperasi
Namun demikian, kita bersyukur bahwa dunia tetap masih mampu ciptakan narasi tanding dari sistem kapitalisme itu. Seperti misalnya koperasi, suatu perusahaan yang didirikan untuk motif, cara dan tujuan yang berbeda.
Tahun 1844, di kota Rochdale, Inggris telah lahir satu alternatif perusahaan koperasi yang menentang secara mendasar dari sistem korporasi kapitalis tersebut. Kalau korporasi kapitalis didirikan untuk motif mengejar keuntungan dari pemodalnya semata, dikelola secara autokratif dengan kuasa pengambilan keputusan di tangan pemodalnya, kuasai seluruh keuntungan perusahaan, maka koperasi dibuat sebaliknya.
Korporasi kapitalis itu dioposisi secara mendasar oleh koperasi. Koperasi pioner Rochdale membuat suatu perusahaan yang ditujukan untuk mengejar manfaat bagi semua pihak, baik itu pemodal, pekerja dan bahkan konsumenya. Keputusan perusahaan itu diputuskan secara demokratis dengan hak setiap orang satu suara oleh semua pihak yang terlibat di perusahaan. Keuntungan atau nilai tambahnya juga dibagi secara adil bagi semua. Kooperasi letakkan orang di atas yang material, modal kapital.
Motif, cara dan tujuan kooperasi yang berbeda dengan sistem kapitalisme telah mengubah sedikit dunia menjadi lebih adil, demokratis dan berartabat. Cara kerja koperasi yang dilandaskan pada nilai moral etis bukan hanya sekedar sebagai perkakas pengejaran materi dan pemuas keserakahan telah menjadikan wajah dunia menjadi lebih baik.
Rekognisi Dunia
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam Sidang Pleno ke-47 tahun 2023 mengeluarkan Resolusi No.47/90 tentang penetapan tahun 2025 sebagai Tahun Koperasi Internasional (Internasional Year Cooperative/IYC). Seluruh negara dan organisasi anggota PBB memiliki kewajiban untuk mempromosikan kebaikan dari koperasi sebagai instrumen penting bagi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Pengakuan PBB itu tentu bukan hanya pengakuan dalam makna filosofis teoritis, koperasi diakui karena telah dihidupi sebagai gerakan perubahan sosial menuju dunia yang lebih baik oleh banyak orang. IYC 2025 merupakan pengakuan atas praktek perusahaan demokratis yang dimiliki 1,3 miliar orang di 3 juta lebih organisasi perusahaan koperasi yang bergerak di semua sektor layanan sosial ekonomi, bahkan hingga layanan publik.
Tiga ratus koperasi besar dunia bahkan hasilkan putaran bisnis yang setara dengan Produk Domestik Bruto(PDB) negara Italia sebesar kurang lebih Rp36.000 triliun (International Cooperstive Alliance, 2023). IYC 2025 adalah pengakuan mendasar atas arti penting koperasi sebagai organisasi yang letakkan kesetaraan pengambilan keputusan di tempat kerja, di ruang hidup keseharian masyarakat.
Koperasi sebagai organisasi adalah promotor nilai penting kerjasama dan ini telah mendorong kohesi sosial dan pembangunan yang berkelanjutan. Sebab, melalui kerjasama di koperasi terjadilah penyatuan kepentingan semua pihak agar berjalan secara demokratis dan adil karena tanggungjawab individu didorong menjadi bagian dari tanggungjawab bersama untuk mencapai kepentingan bersama (bonum commune).
Makna Koperasi
Nilai kerjasama atau cooperation, yang dilembagakan di organisasi modern koperasi sesungguhnya adalah DNA manusia yang penting. Manusia sejak lahir tidak lepas dari nilai kerjasama. Manusia paling egois pun tentu akan mempraktekan kerjasama ini dalam hidup mereka.
Berbeda dengan sistem kapitalis yang hidupnya bergantung pada kekuatan dogma persaingan yang manipulatif terhadap rasionalitas hidup kita, koperasi ingin agar nilai kerjasama yang natural dan rasional itu dihidupkan.
Melalui jalan koperasi, sesungguhnya bertujuan agar manusia memiliki kesadaran penting bahwa dunia kita hingga hari ini sebetulnya sudah tidak fair, manipulatif. Ada sistem pembagain keuntungan ekonomi yang tidak adil dan dimonopoli oleh segelintir pemilik modal besar yang berkongkalikong dengan elit politik.
Koperasi memiliki tujuan agar umat manusia kebanyakan sadar bahwa, sistem kapitalisme yang eksploitatif itu langgeng bukan karena kekuatan kapital besarnya yang digunakan untuk menindas, melainkan dikarenakan dogma persaingan itu diafirmasi oleh banyak orang, termasuk mereka yang menjadi korban eksploitasi. Agar sadar bahwa korporasi kapitalis itu menjadikan orang banyak tetap lemah, bersaing berdarah-darah di bawah antar mereka yang sudah sama-sama lemah, sementara kekuatan pemilik elit kapitalis mengendalikan dan memonopoli dan menghegemoni orang banyak dalam kongkalikong ekonomi dan politik dengan elit politik dan kaum feodalis.
Persaingan dalam maknanya yang kasar adalah pendorong utama konflik karena dasar pijaknya adalah yang satu mengalahkan yang lain, hasilkan perseteruan abadi dan jadikan mereka yang unggul merebut semuanya, the winner take all. Padahal bersaing atau kompetisi adalah dalam makna katanya berasal dari compete, yang artinya adalah berjalan bersama (Ivano Barbareni, 2009).
Aristoreles mengatakan bahwa manusia adalah mahkluk sosial. Sehingga dalam dimensinya sebagai mahkluk beradab, manusia perlu didorong untuk menjadi etis. Bahkan Thomas Hobbes yang katakan manusia adalah serigala bagi manusia lainnya tetap menawarkan satu aturan main yang harus dihormati untuk memungkinkan terjadinya hubungan yang lebih baik.
Rita Levi-Montalcini (2009), peraih Nobel menjelaskan bahwa alasan perilaku manusia ditemukan di organ otak, atau lebih tepatnya pada bagian limbik, yang terletak di hipokampus yang tidak berevolusi selama tiga juta tahun dan sekarang mengendalikan emosi kita. Sementara komponen kognitif (neokorteks) justru mengalami perkembangan luar biasa dan mendorong perkembangan budaya terutama melalui bahasa. Sayangnya, struktur yang memandu sebagian besar perilaku kita dan menyebabkan begitu banyak tragedi besar itu dikendalikan komponen emosional lebih dominan daripada dimensi kognitif. Koperasi mendorong agar rasionalitas kita tetap bekerja dan manipulasi ilutif dari emosi manusia oleh sistem kapitalisme tereduksi.
Hubungan antara masyarakat dan individu itu dicirikan oleh beragam kepentingan. Sering secara impersonal bahkan saling bertentangan. Kerjasama antar individu serta masyarakat lintas negara yang setara memiliki arti sangat penting bagi perbaikan dunia.
Krisis global telah memperjelas bahwa sumbernya karena kurangnya hilangnya kepercayaan yang menyebabkan situasi chaos akibat persaingan. Persainganlah yang jadi sebab konflik dan perang, yang berefek domino di seluruh planet.
Koperasi dalam konteks mikronya, lahir dari pencarian cara yang lebih baik untuk menentukan hubungan ekonomi dan komersial agar menjadi lebih adil, menghormati prinsip-prinsip etika dan kebaikan bersama. Bagaimana agar keputusan di perusahaan, ruang hidup keseharian kita itu dapat memberikan jaminan atas kesetaraan, keadilan dalam distribusikan keuntungan atau manfaat ekonomi dan sosial.
Adam Smith, ekonom dan filsuf Skotlandia peletak dasar bagi ekonomi politik klasik sebetulnya juga sudah menekankan arti penting cara etis untuk mencapai masyarakat yang lebih baik. Penyalahgunaan secara sewenang-wenang atas hak privelege properti, pendapatan yang eksploitatif memicu rasa jijik dan muak dalam dirinya. Menurut visinya, pasar itu harus mencakup nilai-nilai seperti solidaritas, kemurahan hati dan rasa kenegaraan, bukan sekadar tujuan untuk memaksimalkan keuntungan.
Inisiatif koperasi pertama, Equitable Pioneers of Rochdale, yang dirintis tahun 1844 di kota Rochdale, Inggris dan dan pemimpin gerakan koperasi lainnya seperti William King, Friedrich Wilhelm Raiffeisen dan Philippe Buchez hingga Charles Fourier, Louis Blanc, Luigi Luzzatti serta Giuseppe Mazzini dan anak-anak ideologis Bung Hatta, Bapak Koperasi kita, mestinya bangga akan pengakuan dari PBB atas keberhasilan koperasi.
Jakarta, 1 Februari 2025
Suroto
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com