Jurnal-ina.com – Di wilayah diskursus alias wacana, banyak yang menentang keras sistem perkebunan monokultur sawit. Argumentasi sainnya sudah banyak. Namun dalam praktek, rakyat kita ternyata masih banyak yang menerima.
Fakta ini dapat kita lihat dari jumlah luasan kebun sawit rakyat, sebutan untuk membedakan dengan kebun yang dimiliki korporat. Secara luasan lahan yang ditanam, sawit rakyat sebesar 6,08 juta hektar (40,34%). Perkebunan besar swasta menguasai 8,42 juta hektar (55,8%), perkebunan besar negara 579,6.000 hektar (3,84%). Totalnya 15,08 juta hektar.
Secara produksi, keseluruhan menghasilkan 49,57 juta ton buah sawit. Hampir setengah perkebunan sawit yang diusahakan rakyat. Indonesia adalah produsen minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng yang memasok 60 persen kebutuhan dunia.
Berkebun sawit digambarkan sebagai lambang kemajuan, modernitas dan perlambang peningkatan kualitas cara bertani dan kualitas hidup secara keseluruhan. Banyak yang menjadi bangga jika disebut sebagai petani sawit ketimbang peladang padi, jagung atau tanaman lainnya.
Waktu berladang padi, orang dianggap tidak layak pinjam uang oleh bank. Tapi setelah berkebun sawit mereka dianggap mampu membeli satu unit mobil secara kredit. Setelah duduk di kabin mobil, muncul kebanggaan. Sawit menawarkan angin surga bagi masyarakat karena dianggap mendatangkan keuntungan ekonomi dan masa depan lebih cerah.
Saya pernah melihat satu pernyataan resmi seorang bupati di satu kabupaten di Papua yang mengatakan bahwa mereka yang menentang perkebunan sawit adalah penghambat kemajuan. Dia katakan mereka itu adalah orang yang menginginkan orang Papua terbelakang dari peradaban, tersingkir dari modernitas. Bahkan secara lantang membuat tantangan kepada penentang perkebunan sawit, jika memang merawat hutan mampu membuat orang Papua maju, berpendidikan dan ekonominya menjadi lebih baik, dia akan balik membelanya. Walaupun saya yakin ini hanya pernyataan retoris.
Faktanya, petani sawit rakyat mandiri sesungguhnya adalah pihak yang dirugikan. Sebab sistem tata niaganya bergantung semua pada mafia kartel yang kuasai dari hulu hingga hilir sawit. Dari pupuknya, pabrikasinya, hingga hilirisasi sawitnya sebut saja seperti bisnis minyak goreng. Intinya mereka bukan sebagai penentu harga, atau pembentuk keuntungan walaupun produk akhirnya dibutuhkan manusia seluruh dunia.
Sebagai bentuk kasus saja misal, harga tandan buah segar (TBS) sawit rakyat mandiri sebenarnya pernah anjlok cukup tajam. Pada awal 2021, harga sawit di lapangan pernah mencapai Rp375 per kilogram. Padahal, untuk mencapai angka break event point (BEP) atau tidak untung dan tidak rugi, petani sawit harus mendapatkan harga Rp1.100 per kilogram.
Harga merangkak naik karena ada kebijakan domestic price obligation (DPO) dari pemerintah untuk proyek energi biofuel B-30, namun ternyata harga pupuknya langsung melambung tinggi.
Harga TBS perlahan-lahan naik dan pada puncaknya berada di kisaran Rp3.000-3.400 per kg setelah kebijakan energi biofuel B-30 diterapkan, tapi keuntungan petani sawit tergerus habis untuk mengimbangi harga pupuk yang berlipat harganya hingga 4 – 5 kali lipat.
Para pengusaha mafia kartel sawit ini juga menikmati hampir 80% total pengeluaran dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPS) untuk biayai proyek Biofuel. Sementara itu, dana dan subsidi yang seharusnya dialokasikan untuk peremajaan pohon sawit milik petani justru dikesampingkan. Akibatnya, dari sekitar 24 pengusaha perkebunan sawit, lima di antara mereka menguasai lebih dari separuh produksi sawit negeri ini.
Kebijakan eksport Crued Palm Oil (CPO) yang penuh drama pada masa itu juga menyisakan masalah lain tak kalah menyesakkan, berupa korupsi di lingkungan Kementerian Perdagangan yang bekerjasama dengan sebagian eksportir sawit.
Perkebunan plasma rakyat yang diharapkan tampil dominan, justru berada di bawah perkebunan besar inti milik swasta. Perusahaan plasma hanya bergerak di sektor budidaya (on farm) yang dibiarkan bergantung sepenuhnya pada pabrik kelapa sawit (PKS) milik perusahaan inti yang juga bermain hingga industri hilir seperti minyak goreng.
Tetap Menderita
Mafia pupuk, pabrik sawit, eksportir hasil sawit, produsen minyak goreng, pengolah biofuel untung besar. Petani sawit rakyat yang lemah dalam persatuan hanya gigit jari. Bahkan ketika harga internasional melambung tinggi pada waktu paska Covid-19, petani rakyat tetap yang paling menderita.
Pemerintah telah membuat struktur bisnis industri sawit berada dalam gengaman pasar oligopolistik ke tangan segelintir pengusaha yang menguasai industri sawit dari hulu hingga hilir. Kebijakan pola Plasma Inti Rakyat (PIR) dengan harapan kebun plasma sawit rakyat akan lebih banyak, malah yang terjadi sebaliknya.
Pabrik yang dibangun oleh swasta tidak bertransformasi sahamnya jadi milik bersama petani sawit mandiri. Perkebunan besar milik perusahaan swasta justru tampil mendominasi. Sedangkan koperasi petani hanya muncul sebagai koperasi palsu yang sepenuhnya dikendalikan manajemen pabrik.
Dari segi produktivitas maupun kelembagaan serta tata kelola, industri sawit Indonesia memang jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan Malaysia sebagai produsen nomor dua. Perusahaan sawit swasta Malaysia diimbangi oleh perusahaan Koperasi FELDA yang dikembangkan sendiri oleh pemerintah sejak penguasaan lahan hingga pengembangan pabrik pengolahannya bersama petani rakyat mandiri. Dalam hal itu, perusahaan dan perkebunan sawit swasta tak bisa bertindak serampangan. Mereka harus memperhatikan kepentingan nasional.
Prioritas sistem FELDA menjalankan reforma agraria dengan menyerahkan lahan seluas 10 hektar kepada petani kecil per keluarga agar masuk skala ekonomi. Mereka juga turut mengendalikan industri sawit secara keseluruhan, karena perusahaan holding koperasi FELDA ada di semua industri terkait sawit dan termasuk menikmati keuntungan dari investasi sawit di Indonesia. Pendek kata, mereka mampu mengendalikan harga sawit di pasar Internasional karena sebagian besar kepemilikan sawit kita berada di genggaman mereka.
Pemerintah yang berkehendak menstabilkan harga secara permanen harus berani melakukan perubahan besar. Misalnya, membentuk holding Koperasi Sawit Publik semacam FELDA di Malaysia. Caranya juga relatif mudah. Pemerintah cukup mengkonversi sebagian saham perusahaan BUMN yang terkait industri sawit atau melakukan penyertaaan modal di koperasi publik yang dibentuk secara nasional. Langkah selanjutnya adalah mengintegrasikan semua kebun rakyat mandiri dalam Koperasi Sawit Publik.
Berikutnya, melalui kepemilikan bersama antara petani rakyat dan pemerintah, bangun pabrikasi sawit dan minyak goreng, menata jalur distribusi khusus untuk minyak goreng yang menjadi bagian dari holding, mengembangkan dukungan logistik, keuangan, asuransi dan lain-lain ke Koperasi Sawit Publik tersebut.
Kepemilikan demokratis koperasi juga berfungsi ganda. Selain menjaga keseimbangan di antara pelaku usaha di industri sawit, juga akan mendistribusikan nilai tambah ekonomis dan sosial yang lebih luas. Kepemilikan atas koperasi publik sawit yang lebih luas diharapkan dapat mendorong dan memudahkan pengambilan keputusan untuk mencegah atau meminimalisasi dampak negatif perkebunan monokultur terhadap lingkungan serta melenyapkan berbagai konflik lahan yang muncul, karena perusahaan koperasi ini juga dimiliki oleh petani sawit.
Koperasi publik sawit yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah juga akan berfungsi merestrukturisasi pasar monopoli atau oligopoli industri sawit dari sektor hulu hingga hilir yang selama ini dikuasai segelintir pelaku usaha. Itu berarti harus menyelesaikan masalah secara mendasar, termasuk menstabilkan harga secara permanen.
Kontrol demokratis dan tata kelola koperasi publik dengan menyertakan suara semua perwakilan dalam keputusan bisnis juga akan mendorong munculnya banyak gagasan yang memberi manfaat lebih adil serta tata kelola industri yang lebih transparan.
Kerusakan lingkungan akibat sawit dan juga sistem tata niaganya telah merugikan masyakat banyak. Walaupun rakyat masih bertahan, itu semata karena tidak punya pilihan. Mestinya dimoraturium, bukannya diperluas. Lalu yang ada sistem tata niaganya dilakukan reformasi besar.
Jakarta 7 Januari 2025
Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
Suroto
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com