Kebijakan Indonesia dan Malaysia Terhadap China

JAKARTA, jurnal-ina.com – Paramadina Graduate School of Diplomacy bekerjasama dengan Paramadina Public Policy Institute, Bait Al Amanah dan Forum Sinologi Indonesia mengadakan Seminar bertema “Dancing With The Dragon? Indonesia and Malaysia Policies Towards China” di Trinity Tower Lt.45, Universitas Paramadina Kampus Kuningan, Kamis (16/1/2025).

Prof. Cheng-Chwee Kuik, Profesor Hubungan Internasional di Institute of Malaysian and International Studies (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia, membagikan analisis mendalam mengenai strategi Malaysia menghadapi dinamika geopolitik global. Prof. Kuik menekankan peran penting Malaysia sebagai negara kecil yang harus menavigasi hubungan dengan kekuatan besar seperti China, Amerika Serikat dan mitra lainnya.

Selain itu, Prof. Kuik menyoroti peran sentral China dalam kebijakan luar negeri Malaysia, terutama sebagai mitra dagang terbesar negara tersebut. “Pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebagai kekuatan global memberikan peluang besar bagi Malaysia,” ujar Prof. Kuik.

Program strategis seperti Belt and Road Initiative (BRI) dinilai memainkan peran penting untuk memperkuat kerjasama ekonomi bilateral. Meski demikian, Malaysia tetap menjaga diversifikasi ekonomi dengan mempertahankan hubungan perdagangan dan investasi dengan Amerika Serikat, Jepang dan mitra internasional lainnya.

Sebagai salah satu negara Asia Tenggara pertama yang menormalisasi hubungan diplomatik dengan China pada 1974, Malaysia telah menunjukkan komitmen terhadap pembangunan hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan. “Dari hubungan bilateral hingga kolaborasi strategis dalam kerangka ASEAN, pendekatan Malaysia membuktikan pentingnya adaptasi saat membangun kemitraan yang relevan di era modern,” jelas Prof. Kuik.

Prof. Kuik menjelaskan tantangan negara-negara kecil seperti Malaysia di tengah rivalitas antara Amerika Serikat dan hina. Dia memperkenalkan konsep ‘equi-distance’ sebagai strategi diplomasi yang menjaga keseimbangan hubungan dengan berbagai kekuatan besar, sambil tetap mempertahankan kedaulatan dan kepentingan nasional.

Menurutnya, Malaysia bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya terus beradaptasi terhadap dinamika geopolitik baru, termasuk peran Jepang dan Korea Selatan sebagai mitra utama dalam ekonomi dan keamanan. “Jepang yang dulunya hanya berfokus pada bantuan ekonomi kini juga berkontribusi guna stabilitas keamanan kawasan melalui kerjasama pertahanan,” tambah Prof. Kuik.

Menghadapi masa depan, Prof. Kuik menegaskan pentingnya pendekatan yang fleksibel dan strategis bagi Malaysia untuk tetap relevan di tengah dinamika global yang terus berubah. “Keseimbangan antara ketergantungan ekonomi pada China dan kolaborasi keamanan dengan negara-negara Barat adalah kunci untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan peran Malaysia di kancah internasional,” tutupnya.

Berbasis Prinsip

Selanjutnya, Ahmad Khoirul Umam, Ph.D, Managing Director Paramadina Public Policy Institute, menyoroti pentingnya kebijakan luar negeri yang berimbang dan berbasis prinsip menjaga kepentingan nasional Indonesia. Umam menggarisbawahi strategi dan peran Indonesia menghadapi tantangan geopolitik serta peluang yang ada di kawasan dan dunia.

Dalam paparannya, Umam menekankan bahwa Indonesia harus mengedepankan prinsip ‘equal distance’ dalam diplomasi. “Keseimbangan hubungan dengan kekuatan besar seperti China, Amerika Serikat dan mitra lainnya adalah kunci untuk melindungi stabilitas dan otonomi nasional di tengah dinamika Indo-Pasifik,” ucapnya.

Strategi ini memungkinkan Indonesia menjaga perannya sebagai mediator dan kekuatan penyeimbang di kawasan. Umam menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia selalu berakar pada prinsip yang diwariskan oleh para pendiri bangsa, seperti anti-kolonialisme, non-blok dan solidaritas dengan negara-negara berkembang. Prinsip ini, menurutnya, menjadi panduan dalam pengelolaan hubungan strategis dengan China dan kekuatan global lainnya.

Menghadapi rivalitas antara kekuatan besar, Umam mengapresiasi pendekatan Indonesia yang mengadopsi strategi ‘hedging’, satu strategi pragmatis yang mencerminkan realisme neoklasik. “Indonesia harus menggabungkan prioritas domestik dengan dinamika eksternal untuk memastikan kepentingan strategis jangka panjangnya tetap terjaga,” terangnya

Indonesia terus memainkan peran penting dalam forum multilateral seperti ASEAN Summit dan G20, terutama mendukung tata kelola global berbasis aturan. “Komitmen terhadap hukum laut internasional UNCLOS menunjukkan upaya Indonesia untuk memperkuat stabilitas dan kepastian hukum di kawasan,” urainya.

“Paramadina Public Policy Institute siap menjadi pusat kajian dan kolaborasi untuk penelitian terkait studi China,” tuturnya. Dia percaya bahwa penguatan kapasitas riset dapat memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan kebijakan luar negeri Indonesia.

UP – Endot Brilliantono

Momen Seminar bertema “Dancing With The Dragon? Indonesia and Malaysia Policies Towards China” dikaitkan dengan kekuatan besar China dan Amerika Serikat. Foto: UP.

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *