JAKARTA, jurnal-ina.com – Rencana Pengembalian uang hasil pemerasan Rp2,5 Miliar oleh Polri kepada korban penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) membuktikan bahwa institusi Polri tidak serius menuntaskan kasus yang melibatkan anggotanya ke ranah pidana dan cukup berhenti di Komisi Kode Etik Polri (KKEP).
Pasalnya, kalau Institusi Polri merupakan penyidik seperti yang diamanatkan oleh peraturan perundamgan dan menurut hukum,:maka uang yang disita itu adalah merupakan barang bukti hasil kejahatan. Sehingga, kalau uang yang disita dikembalikan maka tidak ada barang bukti yang bisa dijadikan penyidik untuk menjerat pelaku yang juga anggota Polri.
Penegak hukum tahu, bahwa barang bukti itu akan dibawa ke peradilan dan nanti hakim yang memutus perkara pemerasan terhadap Warga Negara Malaysia untuk menentukan apakah uang yang disita dimasukkan ke kas negara atau dikembalikan kepada para korban atau dimusnahkan. Polisi sebagai penyidik tidak memiliki kewenangan menetapkan status lebih lanjut atas barang bukti uang Rp2,5 miliar tersebut selain menyita sesuai hukum dan menjadikannya sebagai barang bukti hasil kejahatan pemerasan.
Kalau uang yang disita sebesar Rp2,5 Miliar dari 45 korban pemerasan WN Malaysia itu jadi dikembalikan maka sama saja dengan meniadakan/ menghilangkan barang bukti untuk proses hukum yang tentunya tanda tanya masyarakat serta akan menimbulkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri akan merosot. Sebab, pemerasan yang dilakukan oleh satuan kerja di reserse narkoba secara berjamaah itu tidak akan diproses secara hukum, padahal sudah terlanjur ramai di media sosial, baik di tanah air maupun di luar negeri. Dugaan tindak pidana pemerasan di jabatan dalam kasus DWP ini masuk kualifikasi tindak pidana korupsi yang tidak dapat diselesaikan dengan jalur Restorarive justice.
Hanya melalui proses pemeriksaan pidana maka dugaan pemerasan dalam jabatan ini bisa didalami modus,.motif serta aliran dana kepada pihak lain dan juga adanya potensi TPPU bisa muncul karena uang hasil pemerasan tersebut ditampung pada rekening tertentu milik pihak-pihak lain.
Oleh karena itu, Indonesia Police Watch (IPW) menilai yang dibutuhkan oleh Institusi Polri adalah ketegasan dan komitmen memberantas polisi-polisi nakal. Hal ini sesuai yang disampaikan
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan memberi perintah tegas kepada jajarannya agar tak segan memberi hukuman kepada anggota yang melanggar hukum.
“Perlu tindakan tegas, jadi tolong tidak pakai lama, segera copot, PTDH dan proses pidana. Segera lakukan dan ini menjadi contoh bagi yang lainnya. Saya minta tidak ada Kasatwil yang ragu, bila ragu, saya ambil alih,” kata Kapolri dalam arahannya kepada jajarannya secara daring di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (19 Oktober 2021).
Janji Kapolri
Sehingga kalau institusi Polri melalui Propam Polri melakukan pengembalian uang Rp2,5 Miliar kepada korban pemerasan penonton DWP, maka hal itu merupakan pengkhianatan terhadap janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang akan mempidanakan anggotanya yang melanggar hukum.
Saat ini sidang Komisi Kode Etik Polri telah memutuskan tiga anggota Polri di-PTDH dalam kasus pemerasan penonton DWP yang berlangsung di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Mereka yaitu Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Donald Simanjuntak, Kasubdit III Dirresnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Malvino Edward Yusticia dan Eks Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKP Yudhy Triananta Syaeful.
Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak dan AKP Yudhy Triananta Syaeful dipecat melaui sidang etik pada Selasa (31 Desember 2024). Sementara AKBP Malvino Edward Yusticia (MEY) dipecat dalam sidang etik pada Kamis (2 Januari 2025) lalu.
IPW menilai aneh putusan PTDH terhadap mantan Direktur Resnarkoba Polda Metro Jaya, Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak yang perannya “hanya tahu tapi tidak menindak”. Hal ini merupakan putusan ambigu karena diartikan lalai. Sehingga Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak tidak sepatutnya dipecat dengan alasan karena tidak melarang dan menindak anggotanya yang memeras.
Dengan begitu, putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri ini, akan menjadi celah di tingkat banding, akan tetjadi putusan, yakni dari PTDH ke demosi. Hal ini seperti terjadi pada anggota yang terlibat dalam kasus Ferdy Sambo dan naik pangkat.
Karenanya, putusan kasus pemerasan penonton DWP oleh anggota Polri yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, akan menjadi acuan langkah institusi Polri di tahun 2025 dan tahun-tahun berikutnya di era Presiden Prabowo. Sikap Presiden Prabowo sebagai pimpinan langsung dari lembaga Polri sangatlah ditunggu.
Salam
Sugeng Teguh Santoso
Ketua Indonesia Police Watch
HP: 082221344458
Sugeng Teguh Santoso
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com