“Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo di Bidang Ekonomi”

JAKARTA, jurnal-ina.com – Universitas Paramadina bekerjasama dengan Institut untuk Pembangunan Ekonomi dan Keuangan (INDEF) menggelar diskusi bertajuk “Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo di Bidang Ekonomi”. Diskusi diadakan melalui zoom meeting pada Rabu (22/1/2025).

Dalam sambutannya, Prof. Didik J. Rachbini menyoroti peran besar isu ekonomi dalam visi dan misi Astacita Presiden Prabowo. Menurutnya, capaian ekonomi Indonesia hingga saat ini masih berada di bawah potensi maksimal.

Read More

Namun, tantangan besar masih menghadang, khususnya dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8% hingga tahun 2029. Menurut Prof. Didik, capaian tersebut mustahil tanpa penguatan sektor industri yang selama satu dekade terakhir hanya tumbuh 3-4%, jauh tertinggal dibandingkan Vietnam yang mampu mencatatkan pertumbuhan industri hingga 9-10%.

“Vietnam, yang saat ini mampu tumbuh hingga 7-8% per tahun dengan ekspor mencapai USD405 miliar, menjadi pembanding yang relevan. Indonesia, meskipun memiliki potensi besar, masih stagnan di angka ekspor sekitar USD250 miliar. Ini adalah hasil dari lemahnya penguatan sektor industri yang hanya tumbuh 3-4% dalam satu dekade terakhir,” ujar Prof. Didik.

Dia menegaskan bahwa tanpa investasi besar-besaran di sektor industri, sulit bagi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% hingga 2029. Sebagai langkah konkret, pemerintah harus fokus pada reformasi birokrasi, seperti era Presiden Soeharto yang mempercepat ekspor dengan kebijakan efisien.

Kinerja investasi di Indonesia juga menjadi sorotan. Banyak investasi yang bergeser ke Vietnam, mengingat kondisi investasi di Indonesia belum cukup kompetitif. “Tanpa peningkatan signifikan dalam investasi asing, sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” tambah Prof. Didik.

Eisha M. Rachbini, Ph.D., menyoroti pentingnya sektor ekonomi digital sebagai pengungkit baru bagi pertumbuhan ekonomi. “Digitalisasi membuka ruang besar bagi kontribusi terhadap PDB, yang pada 2024 baru mencapai 3,7% dan diproyeksikan tumbuh menjadi 7,1% pada 2025. Namun, perlambatan transaksi e-commerce menunjukkan adanya tantangan daya beli masyarakat yang menurun,” jelas Eisha.

Namun, dia juga mencatat adanya perlambatan dalam transaksi e-commerce akibat menurunnya daya beli masyarakat. “Digitalisasi sektor keuangan dapat menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi, terutama melalui layanan fintech yang makin diminati oleh UKM dan masyarakat marginal,” ungkap Eisha.

“Aktivitas ekonomi berbasis teknologi finansial harus didukung dengan kebijakan yang menciptakan akses modal dan mendorong pertumbuhan sektor riil,” tambahnya.

Cenderung Diwarnai Retorika

Sementara itu, Yose Rizal Damuri, Ph.D., melihat 100 hari pertama pemerintahan Prabowo masih minim kebijakan konkret dan cenderung diwarnai retorika. “Selain retorika yang masif, belum ada RPJMN yang dipublikasikan secara resmi sebagai panduan kebijakan. Hal ini berbeda dengan pemerintahan sebelumnya di mana RPJMN sudah diumumkan di awal masa jabatan. Kejelasan arah kebijakan ekonomi sangat dinantikan oleh pelaku usaha dan akademisi,” Yose menuturkan.

Menurutnya, kekurangan koordinasi kebijakan dan ketidakkonsistenan dalam implementasi menjadi hambatan besar. Dia juga menyoroti tantangan lain, seperti warisan masalah ekonomi berbiaya tinggi, ketidakpastian regulasi dan stagnasi pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir. “Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6% menjadi preseden baru, namun pelaksanaannya masih dibayangi potensi politisasi dan ketidakpastian,” papar Yose.

Wijayanto Samirin, MPP., memberikan pandangan mendalam mengenai kondisi fiskal yang berat. “Indonesia menghadapi era ‘make or break’. Tahun 2025-2026 akan menjadi periode kritis dengan beban utang yang jatuh tempo mencapai Rp1.600 triliun, sementara penerimaan negara menurun dan pengeluaran meningkat. Ini adalah tantangan besar yang membutuhkan penguatan penerimaan, efisiensi pengeluaran dan perbaikan manajemen utang,” tukas Wijayanto.

Doa juga mengingatkan pentingnya menciptakan iklim investasi yang kondusif. Ketidakpastian regulasi dan tingginya risiko pembalikan investasi portofolio (reversal) dapat melemahkan sektor moneter dan memperburuk kondisi pasar modal. “Regulasi terkait devisa hasil ekspor (DHE) dan sumber daya alam (SDA) perlu segera diperbaiki untuk menciptakan sumber pendanaan fiskal yang berkelanjutan,” timpalnya.

Meski menghadapi berbagai tantangan, seluruh narasumber sepakat bahwa semangat dan visi Presiden Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% layak diapresiasi. Dengan fokus pada reformasi kebijakan yang berbasis data kredibel, koordinasi yang lebih baik dan dukungan terhadap sektor industri dan digitalisasi, Indonesia memiliki peluang untuk keluar dari tantangan fiskal dan ekonomi.

“Sukses bukan lagi pilihan, tetapi keharusan bagi pemerintahan ini,” beber Wijayanto.

Dengan tantangan global dan domestik yang semakin kompleks, kebijakan ekonomi yang strategis dan implementasi yang efektif menjadi kunci keberhasilan pemerintahan Prabowo di masa depan.

UP – Endot Brilliantono

“Selain retorika yang masif, belum ada RPJMN yang dipublikasikan secara resmi sebagai panduan kebijakan,”tutur Yose Rizal Damuri (kiri atas). Foto: UP.

Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *