CALIFORNIA-AS, jurnal-ina.com – Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) semakin diminati, termasuk bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) karena penggunaan EBT tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga mampu menekan biaya operasional dan meningkatkan daya saing UMKM di pasar global.
Dalam kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat (AS), Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki melakukan studi bandingnya ke dua lembaga yang telah menerapkan teknologi ketika mengembangkan EBT di Amerika.
Pertama, studi banding dilakukan MenKopUKM Teten ke Scripps Institution of Oceanography dalam rangka melihat langsung pemanfaatan EBT dan mempelajari pusat riset pencitraan 3D dan AI bawah laut terbaik dunia.
Scripps Institution of Oceanography menggunakan teknologi canggih seperti 3D dan kecerdasan buatan (AI) untuk mendukung penelitian mereka.
“Untuk mengetahui pendekatan pendanaan seperti apa yang dilakukan, Scripps menggunakan sonar multibeam dan LIDAR untuk membuat peta tiga dimensi dari dasar laut, termasuk gunung bawah laut dan terumbu karang,” ucap Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Rabu (21/8/2024).
Scripps juga menerapkan rekonstruksi ekosistem 3D, yang merupakan teknologi 3D membantu para peneliti merekonstruksi dan menganalisis habitat laut yang kompleks, serta memahami dampak perubahan iklim dan aktivitas manusia.
Kemudian AI untuk analisis data. Di mana kecerdasan buatan digunakan untuk mengelola dan menganalisis data laut besar, mengenali pola dan tren yang membantu analisis yang lebih cepat dan akurat.
Ada juga teknologi robotik dan drones. Scripps mengembangkan robot bawah laut dan drones yang dilengkapi dengan teknologi AI dan 3D untuk eksplorasi laut dan pengumpulan data dari kedalaman yang sulit dijangkau.
Lalu, Modeling 3D untuk perubahan iklim, merupakan teknologi 3D digunakan untuk membuat model iklim bumi, memprediksi dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dan perubahan arus laut.
“Visualisasi Data”
“Scripps juga menggunakan visualisasi data. Yakni, teknologi 3D mempermudah penyampaian data ilmiah secara intuitif dan interaktif, membantu ilmuwan, pembuat kebijakan dan publik memahami hasil penelitian,” urainya.
Studi banding juga dilakukan ke Aptera Motors Factory terkait pemanfaatan EBT dalam produknya. Aptera Motors adalah produsen Amerika yang mengkhususkan diri dalam pengembangan kendaraan listrik bertenaga surya/Solar Electric Vehicle (SEV) yang sangat efisien.
Berkantor pusat di Carlsbad, California, perusahaan ini didirikan oleh Steve Fambro dan Chris Anthony. Aptera berencana untuk memproduksi hanya 371 kendaraan selama fase produksi volume rendah pada tahun 2025, meningkat menjadi 11.000 unit pada tahun 2026 dan akhirnya mencapai produksi tahunan sebesar 20.000 kendaraan.
“Hingga saat ini, Aptera telah berhasil mengumpulkan USD135 juta lebih dari 17.000 investor (crowdfunding), GDP Venture (Grup Djarum) adalah salah satu investor terbesar,” katanya.
Tak hanya itu, menurut MenKopUKM, bentuk mobil Aptera dianggap futuristik karena hanya memiliki tiga roda dan memiliki panel surya yang terintegrasi di badan mobilnya.
Produk mobil Aptera mampu menempuh jarak hingga 1.000 mil/1.600 km dengan sekali pengisian daya dan tambahan 40 mil/64,3 km dari pengisian daya dari panel surya selama perjalanan.
Bahkan, Aptera diproduksi dengan pencetakan 3D, AI dan bodi komposit yang memungkinkan produksi kendaraan yang cepat, bervolume tinggi dan hemat biaya. Di mana harga satu unit lebih kurang USD30.000 atau sekitar Rp474 juta.
Mulia Ginting – Erwin Tambunan
MenKopUKM Teten Masduki mendengarkan penjelasan tentang EBT saat berkunjung ke perusahaan Amerika Serikat itu. Foto: KemenKopUKM.