JAKARTA, jurnal-ina.com – Dana yang dialokasikan untuk pendidikan dari dana Kementerian Pendidikan sebanyak 20%, kementerian pertahanan dan kementerian lainnya banyak mengambil dana Pendidikan dibandingkan dengan dana pendidikan tinggi itu sendiri.
Hal ini disampaikan oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini pada diskusi dengan tema “Sistem Pembiayaan Pendidikan Tinggi Indonesia – Jerman” yang diadakan secara hibrid oleh Universitas Paramadina bertempat di ruang Granada pada Senin (15/7/2024).
Dr. Fatchiah E. Kertamuda, Wakil Rektor Universitas Paramadina memaparkan bahwa biaya operasional yang semakin meningkat, menjadi kendala dalam pengelolaannya dan juga adanya dampak dari dana alokasi APBN yang tidak merata.
Menyinggung biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT), Fatchiah menegaskan bahwa peningkatan biaya UKT seharusnya bisa meningkatkan sarana dan prasarana dan pada akhirnya juga meningkatkan kualitas pendidikan. “Kenaikan ini menyebabkan adanya dilema pinjaman online, di satu sisi memberatkan dan juga memberikan kemudahan di mana bunga yang diberikan oleh pinjaman online sebesar 1-3% bahkan ada yang lebih,” tutur Fatchiah.
“Perlu memperhatikan sistem pembiayaan Pendidikan karena memberikan dampak psikologis yang sangat besar di mana mahasiswa yang sudah lulus belum mendapatkan pekerjaan tetapi hutang dan bunganya masih terus berjalan,” tegasnya.
Prof. Dr. Ing. Hendro Wicaksono, Pengajar Jacobs University menyampaikan bahwa Universitas di Jerman berfokus untuk mendidik sarjana supaya bisa mumpuni di keilmuannya di mana di dalamnya terdapat tridarma perguruan tinggi. Alokasi biaya terbesarnya untuk membiayai Profesor, dari pemerintah negara bagian dan pusat..
Dia menambahkan bahwa di Jerman, tidak semua lahan kampus merupakan milik sendiri, sehingga muncul biaya sewa gedung. “Dalam hal sumber pemasukan, ada banyak perusahaan dari China untuk melakukan training di Jerman, sehingga ini menjadi sumbangsih dalam pembiayaan pendidikan,” kata Hendro.
“Masing-masing universitas memiliki value yang unik sehingga hal ini mempengaruhi penggelontoran dana. Funding untuk riset di Jerman, bisa untuk meng-hire research assistant sehingga kualitas pengajaran dapat bersinergi dengan baik agar terciptanya kualitas yang lebih baik,” jelasnya.
Konjen RI Hamburg 2018 – 2022, Dr. Bambang Susanto memaparkan bahwa Jerman adalah satu model yang tidak mudah dipahami. ”Saat ini 24.000 diaspora mahasiswa Indonesia di Jerman, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki kontribusi kepada Jerman untuk menyumbangkan mahasiswanya untuk menempuh Pendidikan”.
“Pendidikan Adalah Bisnis”
Dalam hal pengembangan biaya pendidikan tinggi, jejaring internasional merupakan suatu aspek yang perlu digali. “Sehingga, yang menjadi persoalan bagi negara maju, Pendidikan adalah bisnis di mana dijadikan ladang bisnis yang bukan main,” tegas Bambang.
Dr. Ahmad Saufi, Asisten Deputi Pendidikan Vokasi dan Pendidikan Tinggi, Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) membandingkan jumlah penduduk Indonesia 275 juta dengan Jerman yang jumlahnya 84 juta.
“Income per kapita pada 2023 Indonesia ada di angka USD5.000, sedangkan Jerman sudah di angka USD49.000. Indonesia memiliki target saat 2045 Indonesia Emas, USD 30.000. Anggaran APK Pendidikan Indonesia 39,7 berdasarkan data Kemdikbudristek sedangkan data BPS 31,45, dengan ini kita perlu mengejar dan membandingkan dengan negara-negara tetangga“.
Menurutnya biaya pendidikan di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan Malaysia. 52% dari anggaran Pendidikan tersebut jadi dana transfer daerah yang dikelola daerah untuk pembangunan SD, SMP dan SMA. “Kemudian 12% dari anggaran Pendidikan sejumlah Rp77 triliun ditambah 7% total Rp47,3 triliun masih kewenangan kementerian keuangan. Hal ini sedang dibahas pada komisi X DPR, tentu dengan adanya diskusi ini akan menambah ilmu mengenai pengelolaan UKT,” ujar Saufi.
“Dengan kondisi keuangan negara, kita tetap perlu UKT untuk memberikan masyarakat terus berpartisipasi dalam artian yang berpunya akan melakukan subsidi silang kepada yang tidak punya. Tentu saja pemerintah terus mencari BOPT dengan mencari sumber dana lain,” urainya.
“Dalam hal ini, Kemendikbud Ristek belum memiliki kewenangan anggaran Pendidikan di luar yang diajukan. Dari Rp660 triliun, hanya 20% atau Rp98 triliun yang dikelola oleh kemendikbud ristek,” tutur Asisten Deputi Pendidikan Vokasi dan Pendidikan Tinggi, Kemenko PMK.
Drg. Eko Kurniawan Putra menyampaikan bahwa sistem pembiayaan sehingga melibatkan pinjaman online tentu saja memberatkan. Sebenarnya sudah sangat lama tiap mahasiswa yang memiliki mental untuk berbisnis dalam hal entrepreneur.
“Banyak mahasiswa yang melihat kanan kiri temannya melakukan trading dan lain sebagainya, kadang juga pinjaman online ini dipergunakan untuk gaya hidup. Bukan Pendidikan sehingga perlunya mengatur keuangan dan mengelola bisnis dengan sebaik-baiknya” lanjut Eko.
UP – Endot Brilliantono
Ketika diskusi berlangsung dengan tema “Sistem Pembiayaan Pendidikan Tinggi Indonesia – Jerman” secara hibrid oleh Universitas Paramadina di ruang Granada. Foto: UP.
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com