Istilah Buruh dan Majikan Adalah Rasisme

PURWOKERTO, jurnal-ina.com – Sadar atau tidak, ada satu bentuk rasisme dan feodalisme ortodok yang masif dan masih diafirmasi oleh ras manusia, yaitu pembelahan masyarakat atau status sosial yang disebut buruh dan majikan, atau proletar dan borjuis, atau kulie dan taoke. Buruh disebut sebagai orang yang hanya punya tenaga dan menyerahkan tenaganya untuk dipekerjakan oleh majikan, sebagai pemilik kuasa atas modal material.

Buruh yang hanya punya tenaga itu dianggap hanya punya hak atas upah, gaji dan istilah lainya. Lalu Majikan pemilik modal memiliki kuasa atas nilai lebih, keuntungan, laba, gain dan istilah lainya dari produk/jasa yang dihasilkan buruh. Kuasa itu dibenarkan oleh masyarakat dengan asumsi bahwa pemilik modal material-lah yang dianggap punya hak milik atas seluruh kekayaan perusahaan. Mereka bahkan dianggap punya hak mengambil seluruh keputusan dan termasuk atas nasib buruh, proletar.

Read More

Ortodoksi hingga saat ini belum mengalami perubahan. Sehingga buruh yang dianggap tak punya hak kepemilikan dan hak memutuskan nasib hidup mereka di perusahaan akhirnya hanya punya saluran aspirasi yang terbatas di luar perusahaan, dalam bentuk protes dan bahkan dalam bentuk demonstrasi dan pemogokkan.

Rasialisme yang bersumber dari feodalisme kuno ini sesungguhnya sudah diperjuangkan untuk dihapuskan oleh 28 orang eks pekerja pabrik, aktivis pembaharuan sosial dan akademisi pada tahun 1844. Bahkan mereka telah mendeklarasikanya sebagai satu gerakan. Gerakan itu diberi nama Pioner Masyarakat Setara Dari Rochdale (The Equitable Society of Pionners of Rochdale), Inggris.

28 orang itu lalu dirikan perusahaan bersama dan di dalam perusahaan itu mereka hapuskan bentuk diskriminasi dan rasialisme dengan membangun satu toko sembako. Mereka terapkan sistem kepemilikan dari toko itu bukan hanya untuk mereka yang pemodal seperti model perusahaan swasta kapitalis, tapi dimiliki oleh pekerjanya dan bahkan konsumennya.

Di dalam sistem perusahaan baru itu semua orang diberikan jaminan atas hak suara yang sama mengambil keputusan perusahaan. Ini mereka pentingkan agar tidak ada lagi satu orang atau beberapa gelintir pemodal perusahaan lalu miliki dan kuasai perusahaan dan putuskan nasib dari mereka yang bekerja.

Model perusahaan canggih non rasis dan anti feodalisme itu tak hanya jamin hak kepemilikan dan suara yang sama untuk mengambil keputusan di perusahaan, namun mereka juga ciptakan cara membagi hasil jerih payah sesuai dengan besaran kontribusinya secara adil.

Gerakan Pionners Rochdale

Gerakan Pionners Rochdale itu juga membuat istilah pekerja menjadi pelayan, servant. Pelayan atau servant adalah mereka yang memiliki kesediaan dan juga keterampilan untuk melayani di Perusahaan. Mereka adalah para relawan yang berdedikasi dan juga profesional yang memiliki sifat vokatif.

Mereka yang bekerja mendapatkan bayaran, tapi bukan gaji atau upah seperti yang dimaknai di perusahaan kapitalis, sebab mereka itu juga pemilik perusahaan. Mereka yang membeli juga bukan hanya konsumen sebagai obyek bagi perusahaan seperti dalam sistem perusahaan swasta kapitalistik, tapi juga menjadi pemilik dari perusahaan.

Gerakan besar anti rasialisme dan feodalisme dan juga sistem perusahaan futuristik ini, saat ini berkembang ke seluruh dunia dengan nama Co-op, Cooperative. Diikuti oleh setidaknya 1,3 miliar orang dan bergerak disemua sektor layanan. Dari layanan kebutuhan sehari hari, asuransi, keuangan, pertanian, perikanan dan bahkan hingga layanan seperti listrik dan rumah sakit.

Semoga gerakan ini segera juga berkembang di Indonesia, untuk hapuskan rasialisme dan feodalisme selama lamanya. Untuk bangun masyarakat setara tanpa kelas buruh atau kelas majikan.

Purwokerto, 1 Mei 2024

Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

Suroto

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *