JAKARTA, jurnal-ina.com – Salah satu penyebab otoritarianisme yang paling terlihat adalah ulama. Karena ulama adalah pelayan umat dan teman dari pemerintah. Demikian menurut Ketua Paramadina Institute for Ethics and Civilization (PIEC) Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D.
Hal ini disampaikannya pada Kajian Etika dan Peradaban ke-25 yang mengangkat tema “Sumber-Sumber Otoritarianisme Dalam Budaya Politik Indonesia”. Diskusi berlangsung Rabu (10/1/2024) di Ambhara Hotel, Jakarta dan dimoderatori Dr. Rizki Damayanti, MA.
Menurut Pipip telah terjadi perubahan yang transformatif pada tahun 98 dalam Gerakan reformasi dan berhasil mengubah sistem politik pancasila. “Saya mengharap presiden Jokowi bisa menjadi satu pribadi baru atau tokoh baru yang diharapkan bisa merepresentasikan pemimpin yang tidak memiliki kecenderungan otoriter pada periode keduanya,” ujarnya.
Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia melihat bahwa otoritarianisme bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Baik dari sudut pandang social sciences, political sciences, humanity, psychology, atau multidisicpilinary approach. “Secara khusus dilihat dari sudut pandang Antropologi, pengaruh dari luar yang masuk dan dijadikan kebudayaan jawa, bahkan muncul istilah bahwa raja sama dengan tuhan,” kata Aji.
Asta Brata
Banyak hal yang mempengaruhi konsep kekuasaan yang sentralistik menjadi bagian penting dalam riwayat kekuasaan di Jawa, yaitu pengaruh India melalui Mahabarata dan Ramayana atau Asta Brata, Hindu dan Budha, serta Islam dan tafsir Jawa. “Karena pada dasarnya budaya politik di Indonesia sangat banyak macamnya, terlebih komunitas tradisional yang ada di Indonesia,” tambahnya.
‘Kecenderungan pimpinan otoriter ada di kelompok tribal terutama bigman, ataupun kelompok chiefdoms. Terutama pada individu dengan peringkat tinggi dan states, terutama saat kontrol hukum melemah. Pada dewasa ini, ketika negara menganut prinsip demokrasi sudah mestinya otoritarianisme menghilang,” paparnya.
Aspek kontekstual menjadi bagian penting untuk melihat dinamika pelaku dan situasi yang menyelimutinya. Dalam kasus Indonesia kontemporer, faktor-faktor penguasaan politik dan ekonomi menjadi alasan munculnya otoritarianisme. “Sebagai antropolog saya tidak hanya melihat sesuatu berdasar pada satu sisi, tetapi saya akan melihat dari berbagai sisi baik masa lalu, saat ini dan yang akan datang,” pungkasnya.
UP – Endot Brilliantono
Usai berdiskusi, para pembicara berfoto dengan petinggi Universitas Paramadina. Foto: UP.
Artikel ini sudah terbit di govnews-idn.com