Jurnal-ina.com – Pemilih pada Pemilu 2024 mayoritas adalah milenial dan generasi Z. Oleh karenanya perlu upaya pendidikan agar mereka melek politik. Demikian disampaikan Dr. Phil Suratno Muchoeri pada Diskusi Fatsoen Politik & Pendidikan: Peran Pendidikan dalam pengembangan Etika-Politik Generasi Muda yang diselenggarakan secara The Lead Institute Universitas Paramadina, Pondok Pesantren Manahijussadat, Lebak, Banten, Selasa (9/2/2023).
Menurut Ketua The Lead Institute Universitas Paramadina ini, pelaku pelanggaran fatsun juga kadang muncul dari kalangan pelajar dan mahasiswa, disebabkan karena tidak tahu atau sengaja ikut menyebarkan hoax.
“Misalnya pemilu 2019 ada keterbelahan di masyarakat. Kita harap generasi muda sekarang tidak terlibat, akan tetapi bisa berkontribusi secara positif untuk menghindari pelanggaran itu. Di sinilah kita ingin melihat bagaimana peran pendidikan, ada ruang pendidikan yang bisa diisi untuk menjadi bagian dari upaya literasi politik,” katanya.
Menurut Dr. M Subhi Ibrahim Ketua Program Magister Studi Islam Universitas Paramadina, jika kita ingin tahu masa depan bangsa bisa dengan melihat kelas-kelas yang ada di sekolah, sebagai wajah dari masa depan Indonesia.
“Karena itu maka kita perlu kembali pada satu filosofi dasar terutama dalam Islam yaitu untuk membangun generasi iqra, generasi yang sadar literasi atas segala hal, bukan hanya agama tapi kepekaan kita terhadap masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa kita,” ungkapnya.
Ki Darmaningtyas Pengurus Keluarga Besar Taman Siswa menyatakan bahwa fatsun untuk membangun karakter bangsa itu menjadi sangat penting, etika sebenarnya merupakan proses dari pembangunan bangsa itu sendiri.
“Menurut Tan Malaka, tujuan pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan. Sedangkan Bung Karno mengatakan bahwa membangun suatu negara, membangun ekonomi, membangun teknik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya, membangun jiwa bangsa,” tegasnya.
Lebih lanjut Darmaningtyas mengutip Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa pendidikan bukan hanya membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan praktis, melainkan juga dengan nilai dan keyakinan sebagai modal sosial dan moral menyiapkan mereka menjadi warga negara dan warga dunia yang baik.
“Karena itu keluarga menjadi basis untuk pendidikan karakter. Mereka yang punya etika baik pada umumnya lahir dari keluarga yang baik, sekolah memperkaya dan lingkungan memberikan tantangan,” ucapnya.
“Bermasyarakat”
“Kalau karakter personal, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita tumbuhkan pada diri masing-masing, maka bangunan etika politik bisa kita bangun dalam diri masing-masing. Pemilihan Capres misalnya kita bisa melihat mana sosok yang bisa menjawab atau mendukung terbangunnya ketiga karakter tersebut,” tambahnya.
Darmaningtyas juga menggarisbawahi bahwa Etika adalah yang paling dasar menjadi landasan seseorang untuk mengambil keputusan. “Ketika etik itu dilanggar, maka meskipun hukum aturan ditegakkan itu percuma saja. Tapi tidak ada hukum selama menjunjung tinggi etik semua akan baik-baik saja.”
Narasumber lainnya, Retno Listyarti – Mantan Komisioner KPAI menegaskan bahwa pelanggaran etika merupakan satu pelanggaran yang jauh lebih serius dibandingkan dengan pelanggaran profesi. Karena pelanggaran etika menyangkut kelayakan pribadi ketika melaksanakan tugas profesional tertentu.
“Pelanggaran profesi bisa dikoreksi dengan perbaikan praktik profesi. Namun, pelanggaran etika sudah menyangkut kelayakan pribadi pelaku. Konsekuensinya hanya berarti tidak layak melaksanakan tugas profesional itu. Maka rekomendasi yang umum adalah diminta mundur atau dipecat,” ujarnya.
Menurut Retno, perihal banyaknya kasus pidana terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat pada masalah politik yang melibatkan siswa maupun guru. Hal itu menunjukkan buruknya iklim demokrasi di dunia pendidikan.
KH Sulaiman Effendi, Pengasuh Pondok Pesantren Manahijussadat Banten mengingatkan pentingnya pendidikan sebagai satu proses yang membantu siswa agar mengalami perkembangan dan perubahan dari sisi akal, fisik serta rohani sehingga dia berkembang.
“Santri tidak hanya dicetak jadi Ustadz tapi jadi apa saja, bahkan ada santri yang mendirikan NKRI seperti KH Agus Salim dan Ki Hajar Dewantara. Pesan saya bagi Santri yang berpolitik, berpolitiklah berbasis amal saleh.”
“Kalau kita sudah beretika maka urusan selesai dan menjadi negara maju. Kenapa saat ini Indonesia tidak maju karena dicontohkan oleh orang-orang yang tidak beretika. Remaja hari ini adalah pemimpin masa depan, kalau tidak dididik dengan benar, jangan harap ada Indonesia 30 tahun ke depan,” pungkasnya.
UP – Endot Brilliantono
Diskusi oleh The Lead Institute Universitas Paramadina di Pondok Pesantren Manahijussadat, Lebak, Banten, tengah berlangsung. Foto: UP.
Artikel ini sudah terbit di govnews-idn.com