Jurnal-ina.com – Pemindahan Ibu Kota Negara ( IKN) Nusantara dianggap sudah final sejak disahkan sebagai Undang Undang (UU). Artinya secara normatif hukum sudah dianggap sah. Capres dan Cawapres yang sedang berkontestasi hari ini dapat dikatakan memegang komitmen ini, kecuali pasangan Anies-Muhaimin. Pasangan Anies- Muhaimin lebih memilih untuk mengembangkan pertumbuhan kota-kota yang sudah ada ketimbang membangun IKN.
Berangkat dari asumsi bahwa IKN telah mendapat pengesahan secara hukum, maka kemungkinan besar pembangunanya akan terus dilanjutkan. Argumentasi untuk melegitimasinya dapat saja disebut sebagai upaya untuk menumbuhkan pusat pertumbuhan ekonomi baru, untuk mengalihkan masalah demografi di Jakarta dan lain-lain.
Melihat konsep pembiayaan pembangunannya, APBN akan dialokasikan untuk mendorong dilakukanya pembangunan infrastruktur fisik terutama fasilitas kantor pemerintahan dan pendukungnya secara multi tahun. Sedangkan fasilitas lainya diharapkan berasal dari investor.
Dari segi konsepnya dan melihat cekaknya anggaran pembangunan IKN dari sumber dana APBN maka satu-satunya yang diharapkan memang lebih banyak dari investor. Sehingga secara konsep dapat dikatakan pembangunan IKN ini menggunakan konsep investor-driven, atau digerakkan oleh investor.
Dalam model pengembangan IKN berbasis investor-driven tentu pada akhirnya kapling tanah, juga penguasaan dari fasilitas penunjangnya akan berada dalam penguasaan para investor. Itu artinya platform bisnis yang dikembangkan sebagai satu ibu kota akan berada dicengkeram investor. Logika sederhananya adalah, apa yang tidak kamu miliki maka tidak mungkin dapat kamu kendalikan.
Rakyat banyak, warga jelata Kalimantan atau Indonesia pada umumnya tentu hanya akan pada posisi sebagai penonton terhadap proses pembangunanya. Atau hanya akan menjadi obyek dari pembangunan.
Bangunan-bangunan megah dan bisnis yang ada tidak akan beda jauh dengan yang ada di Jakarta. Berada dalam cengkeram elit kaya. Malahan tentu akan menjadi lebih buruk karena hanya akan berupa kota seperti halnya kawasan Tamrin dan Sudirman di Jakarta. Konsep kota model investor-driven ini akan muncul sebagai satu menara gading baru bagi tumbuhnya hegemoni elit kaya terhadap rakyat kebanyakan.
Hari ini, rakyat dewasa Indonesia 83% adalah mereka yang hanya memiliki kekayaan sebesar Rp150 juta ke bawah. Mereka yang memiliki kekayaan di atas Rp1,5 miliar adalah hanya 1,1% (Suissie Credit Institute, 2021). Menurut Oxfarm gambaran kesenjangannya juga sungguh ekstrim. Dari 4 anggota keluarga konglomerat Indonesia saja, kekayaanya sama dengan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin.
Melihat angka di atas artinya mereka yang memiliki kemampuan investasi dan kemungkinan untuk menguasai ibu kota secara ekonomi politik kelak adalah jatuh kepada segelintir konglomerat dan tentu investor asing, jika ada yang tertarik.
Investor yang tertarik untuk berinvestasi tentu karena insentif bisnis. Mereka akan mau berinvestasi jika mendatangkan keuntungan. Tidak ada satu makan siang yang gratis.
Berangkat dari argumentasi di atas maka IKN tentu akan menjadi kota yang dibangun dengan kemegahan istana dan satu infrastruktur yang akan mengaleniasi warga setempat, warga Indonesia pada umumnya, rakyat yang tak berkemampuan berinvestasi.
Ibukota baru ini akan menjadi semacam satu bangunan besar perbudakan baru dari elit konglomerat dan investor asing kaya raya karena seluruh bisnis yang dikembangkan akan berada dalam cengkeram mereka. Ini artinya Ibukota yang akan menjadi pusat aktifitas politik menjadi berada dalam kuasa elit oligarki, elit plutokrat.
People-Driven
Konsep pembangunan IKN sesunguhnya masih dapat dibangun dengan alternatif baru. Namanya adalah people-driven atau konsep yang digerakkan oleh rakyat. Satu konsep pembangunan yang didasarkan pada penempatan orang banyak, rakyat sebagai pemegang kuasa atas wilayah baru tersebut sebagai subyek, bukan sebagai obyek pembangunan.
Konsep People-driven ini tentu berbeda cara dengan konsep investor-driven. Kota IKN dalam konsep people-driven harus berada dalam kendali rakyat banyak bukan segelintir investor. Utamanya adalah rakyat Kalimantan. Mereka semestinya awalnya diajak bicara dan diberikan prioritas untuk mengembangkan kota itu.
Proses pembangunan IKN berbasis people-driven pertama-tama yang perlu dilakukan adalah melaksanakan pembebasan tanah dari para penguasa lahan oleh pemerintah. Bukan justru sebaliknya, kuasa tanah di atasnya diberikan kepada investor.
Dari setiap proses pembangunan, tanah milik nenek moyang rakyat Kalimantan itu harus dikembangkan sebagai bentuk modalitas dari rakyat. Siapapun investor yang masuk harus libatkan masyarakat setempat.
Saham-saham bisnis yang ada dikerjasamakan dengan kelembagaan demokratis milik rakyat. Lahan dikuasai oleh rakyat melalui kepemilikan bersama secara drmokratis melalui koperasi. Lalu oleh masyarakat melalui koperasi dibangun pusat-pusat bisnis dan termasuk berbagai fasilitas yang ada kecuali fasilitas publik seperti kantor pemerintah, jembatan serta fasilitas umum lainnya.
Model konsep pembangunan IKN berbasis people-driven ini merupakan gambaran kota ideal yang memungkinkan semua orang tumbuh bersama membangun satu kota. Menjadikannya sebagai satu kota yang tidak hanya layak secara kemanusiaan namun juga secara ramah lingkungan.
Konsep people-driven ini juga mengacu pada konsep Konstitusi pasal 1 ayat 2 yang jelas dan terang tempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan atas negara ini. Selain tentu konsep demokrasi ekonomi sebagaimana menjadi mandat dari pasal 33 UUD 1945.
Jakarta, 25 Desember 2023
Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)
Suroto
Artikel ini sudah terbit di govnews-idn.com