Bekerja Dalam Sunyi

banner 468x60

Jurnal-ina.com – DI TENGAH pemberitaan politik yang riuh, sebenarnya kita punya cerita dari banyak sosok yang memilih bekerja dalam sunyi. Tidak tersorot kamera. Dan jauh dari pansos.

Salah satunya, pria ini. Namanya: Muhammad Ilyas. Lengkapnya Dr.Muhammad Ilyas ST, M.Sc, IPU. Dulu, saya mengenalnya sebagai seorang peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Lembaga yang dibidani Prof.B.J.Habibie dan sangat dibanggakan di masa pemerintahan era Soeharto.

Setelah sekian purnama berlalu, pamor lembaga riset tempatnya bekerja meredup. Di likuidasi dan dilebur kedalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Imbasnya, sejumlah jabatan struktural dihapus, banyak pegawai pilih pensiun dini.

Tak terkecuali Ilyas, demikian dia akrab disapa. Karirnya pun ikut redup. Bahkan non job. “Di NTT-kan hehe….(Nasib Tak Tentu, red),“ seloroh teman.

Padahal sebelumnya prestasi pria yang menyelesaikan pendidikan S2 dan S3-nya di Jepang ini boleh dibilang moncer. Pernah menjabat Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT yang juga bertanggungjawab atas operasional kapal riset “Baruna Jaya”. Lalu mendapat promosi pejabat setingkat eselon II. Sebagai Direktur Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana, Deputi Bidang TPSA (Teknologi Pengembangan Sumberdaya).

Bahkan sebagai kepala balai survei kelautan BPPT, Ilyas sempat jadi ‘langganan’ televisi sebagai narasumber saat insiden jatuhnya pesawat Lion Air rute penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang, akhir Oktober 2018. Dia menjelaskan bagaimana cara kerja aplikasi teknologi kelautan untuk mencari blackbox dan penyusuran dasar laut pasca insiden itu.

Dalam kondisi “Andi Lau” (antara dilema dan galau), tiba-tiba Ilyas mendapat informasi dari Ketua ISLA (Ikatan Sarjana Kelautan) Universitas Hasanuddin (Unhas), Darwis Ismail. Katanya, ada pendaftaran lelang jabatan di Pemprov Sulawesi Selatan (Sulsel).

Ilyas hanya diam. Belum merespon. Apalagi info lelang jabatan itu didapatnya saat ‘last minute”. Dia berpikir keras. Untung, kawan-kawannya di ISLA memberinya semangat, dorongan dan bahkan ‘begadang” membantu menyiapkan beberapa dokumen guna mengejar waktu deadline yang kian mepet.

Karena merasa di BRIN ruang geraknya terbatas, Ilyas pun memutuskan mengikuti saran kawan, koleganya dan keluarga, tentunya. Ada dua alasan yang menguatkan langkahnya ketika itu.

Pertama, kebetulan ada slot untuk mengisi posisi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) yang sudah lama kosong dan hanya diisi pejabat pelaksana tugas. Seleksinya terbuka. Jauh dari aroma KKN. Apalagi dia mendengar gubernur ingin objektif mencari sosok pembantunya yang betul-betul paham dan expert.

Kedua, karena faktor kelautan dan perikanan yang memang sesuai dengan ilmu, minat dan passionnya. Ini kesempatan baginya sekaligus bisa “pulang kampung” mengabdikan ilmunya bagi masyarakat.

“Kalau bukan dinas itu, mungkin saya pikir-pikir ikut seleksi,” kata lulusan angkatan pertama Kelautan Unhas. Jurusan yang waktu itu dibentuk sebagai buah dari perjuangan menetapkan ilmu dan teknologi kelautan sebagai PIP (Pola Ilmiah Pokok) Unhas.

Saya dengar, belakangan PIP itu mulai nyaring didengungkan kembali. Apalagi dengan terpilihnya guru besar dari kelautan dan perikanan, Prof.Jamaluddin Jompa sebagai Rektor Unhas.

Kembali ke Ilyas. Alhamdulilah, dia terpilih. Menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel yang pertama jebolan Universitas Hasanuddin (Unhas). Dia dilantik 30 Mei 2022 oleh Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman (ASS).

Sebagai pejabat baru, dia pun bertandang ke DPRD Sulsel. Di Jalan Jendral Urip Sumohardjo Makassar. Satu arah dengan rute menuju ke Kantor Gubernur Sulsel. Karena dia sadar, semua program kerjanya butuh dukungan politik, terutama Komisi B yang menjadi mitra kerjanya.

“Pak Kadis, dinas ta’ itu yang paling kecil anggarannya dibanding dinas yang lain,” celetuk salah seorang anggota dewan mengingatkan.

“Justru itu menjadi challenge bagi saya pak dewan. Dengan dana yang minim bisa maksimal outputnya,” jawabnya.

“Mantap. Semangat ki’ Pak Kadis!” ujar anggota dewan lainnya.

“Sudah anggaran kecil, badan saya juga kecil. Apa mi lagi yang bisa diandalkan, kecuali semangat saya yang besar Pak dewan,” tutur Ilyas. Tawa mereka pecah.

Aset Tak Produktif

Suatu waktu, kami bertemu lagi. Di Jakarta. Di café BOSKA milik Ketua ISLA Unhas di daerah Rawajati Timur, Jakarta Selatan. Persisnya hanya selemparan baru dari kantor BIN.

Ilyas bercerita tahun pertama bertugas sebagai Kadis DKP, dia sedikit kaget. Banyak hal yang mesti dibenahi. Baik internal maupun eksternal. Bahkan, setelah dirinya menginvetarisir potensi dan aset sektor perikanan dan kelautan milik Pemrov Sulsel, rupanya banyak yang tidak produktif. Tersebar di beberapa titik di kabupaten seperti Takalar, Barru, Luwu, Sinjai dan lainnya.

“Karena itu saya datang ke Jakarta ingin mengundang pihak investor atau swasta yang berminat bekerjasama mengelola aset kami yang tersebar di beberapa kabupaten,” katanya menjelaskan sembari menyeruput kopi aceh.

Dia mencontohkan, pengelolaan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Lappa yang terletak di kabupaten Sinjai kini telah menjadi kewenangan Pemprov Sulsel.

PPI Lappa yang merupakan salah satu PPI terbesar di Sulsel sudah menjadi aset Pemprov Sulsel sejak dua tahun terakhir. Penyerahan kewenangan dari kabupaten ke provinsi dilakukan pada November 2020 lalu. Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang peralihan kewenangan antara kabupaten/kota dan provinsi.

“Memang aset Pemprov, tapi kita saling berbagi karena tetap warga setempat yang nikmati. Pembagian PAD retribusi ikan-nya, 70% masuk ke kas Kabupaten dan 30% ke provinsi. Kalau masalah lainnya, bisa kita bicarakan seperti apa kesepakatan kita,” jelasnya.

Komoditas Unggulan

Selain urusan aset, Ilyas “Gercep” (gera cepat, red) mengakselerasi berbagai komoditas unggulan dari Sulsel seperti rumput laut dan udang.

Rumput laut merupakan komoditas unggulan Sulsel beberapa tahun belakangan ini, bahkan telah masuk sebagai salah satu proyek dalam peta peluang investasi (PPI) oleh Kementerian Investasi/BKPM.

Tak tangung-tanggung, produksi rumput laut di daerah ini lebih tinggi jika dibanding semua komoditas perikanan lainnya. Di triwulan III 2022 misalnya, produksi telah mencapai 2,86 juta ton atau senilai Rp 10,47 triliun. “Angka ini terus dikebut hingga bisa menyamai produksi sepanjang 2021 yang mencapai 3,78 juta ton,” tuturnya.

Untuk produksi udang, lanjut Ilyas, pada triwulan III di tahun yang sama telah capai 45.432 ton atau senilai Rp2,57 miliar. Jenis udang yang menjadi unggulan di Sulsel antara lain Windu dan Vaname. “Kami beberapa kali memberikan bantuan kepada para petambak berupa benih, terkhusus jenis Udang Windu,” ungkapnya.

Pemprov Sulsel belum lama ini menabur 30.000 benih udang windu di Kecamatan Lansirang di Kabupaten Pinrang. Ini sebagai program tabur 30 juta benih Udang Windu di area seluas 1.000 ha di Sulsel.

Sebelumnya, sebanyak 250.000 benih Udang Windu disalurkan kepada kelompok pembudidaya di Pulau Lakkang, Kota Makassar.

Semua itu, menurut Ilyas, dimaksudkan dengan harapan para pembudidaya bisa melakukan budidaya secara maksimal sehingga bisa mengembalikan kejayaan udang windu sebagaimana target Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman (ASS).

Adapun hasil komoditas perikanan budidaya di Sulsel telah konsisten diekspor ke beberapa negara seperti Jepang, Tiongkok dan Amerika Serikat.

“Masih ada kendala yang kerap dihadapi petambak dalam budidaya dan meningkatkan kualitas maupun kuantitas komoditasnya agar siap ekspor. Dari problem benih unggul, penyakit pada udang, bahkan teknologi irigasi tambak dan pakan masih dari luar Sulsel. Makanya harga cukup mahal,” teranya.

Yang teranyar, 13 Agustus 2023 lalu, Gubernur Andi Sudirman Sulaiman mewujudkan janjinya dengan memberikan bantuan sebanyak 18 unit kapal kepada kelompok nelayan di beberapa kabupaten/kota di Sulsel. Rinciannya ada 2 unit kapal perikanan tangkap 10 GTdan 16 kapal 5 GT. Sekaligus kado bagi nelayan Sulsel menjelang berakhirnya masa jabatannya September 2023.

Pemprov Sulsel mempercayakan sebagian besar pembuatan kapal nelayan itu di Kabupetan Bulukumba yang sudah dikenal sebagai “Butta Paanrita Lopi” (tempat pembuatan perahu pinisi, red). Apalagi kapal Pinisi dari Sulawesi Selatan juga telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (Intangible Cultural Heritage) oleh Unesco.

Yang buat Ilyas lega. Karena bisa memediasi “pertikaian” wilayah tangkapan yang sudah berlangsung lama. Antara kelompok Pajukukang dengan kelompok nelayan Kodingareng. Di wilayah pesisir perbatasan antara kabupaten Maros dan Makassar.

Kepada nelayan itu, Ilyas selalu mengingatkan tidak ada pihak yang diuntungkan dengan sengketa ini. Yang kalah jadi abu. Yang menang jadi arang. “Lebih baik kita bakar ikan, lalu makan bersama dengan damai.”

Rusman Madjulekka

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel Muhammad Ilyas. Foto: RM.

banner 300x250

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *