Tuan dan Puan, Bantuan Sosial itu Memiskinkan!

Oleh: Suroto

JAKARTA, jurnal-ina.com – Hingga hari ini, pemerintah atau lembaga-lembaga Filantropi, perorangan, politisi dan lain-lain masih terus menggunakan skema yang sama untuk menolong si miskin lepas dari kemiskinanya, yaitu melalui jalan belas kasihan, santunan, bantuan sosial alias Bansos. Apapun itu bentuknya, baik uang tunai, beras miskin (raskin), telur rebus, mie instan, baju celana, atau apapun. Apakah cara memberikanya dilakukan dengan cara halus. Biasanya menjelang masa kampanye Pemilu, kegiatan Bansos semakin besar dan gencar eskalasinya.

Read More

Sangat memprihatinkan memang. Tapi apa daya, para politisi dan penguasa dan elit kaya gunakan cara itu untuk upaya pencitraan dan pertahankan kekuasaanya. Dan sementara masyarakat kita yang menurut hitungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui World Bank terbaru hampir separuhnya miskin menikmatinya.

Mungkin mereka anggap yang paling mudah untuk mendapatkan suara warga di Pemilu dan mendapatkan simpati rakyat yang paling efektif ya hanya itu. Walaupun sebetulnya rakyat sedang ditipu. Sesungguhnya mereka itu sedang merebut sepotong remah kecil roti dari seorang anak kecil.

Ide Melepas Kemiskinan

Selain ide Bansos yang membodohi, menghina dan melecehkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan republik ini, sebetulnya masih ada cara lain untuk menolong rakyat miskin. Hanya saja tidak dapat dilakukan secara instan. Mesti sistematis dan berkelanjutan. Ide itu adalah dengan cara membangun koperasi.

Dahulu kala, pada tahun 1840-an, seorang wali kota di Westerwald, Prusia/Jerman yang bernama Frederic Weilhem Raiffisien merasa prihatin dengan kehidupan warganya yang kebanyakan jatuh miskin karena musim dingin yang berkepanjangan dan juga akibat banyaknya pengangguran karena terjadinya revolusi industri. Di mana tenaga manusia banyak yang digantikan oleh mesin. Walikota Raiffeisen tak hanya berpangku tangan, dia segera melakukan tindakan.

Tindakan pertama yang dia lakukan adalah mengumpulkan orang-orang kaya. Dia meminta untuk membantu orang miskin. Idenya adalah membentuk lembaga Filantropi yang bernama Bread Society, Masyarakat Roti.

Orang-orang kaya itu diminta untuk menyumbang uang bagi si miskin. Dari uang itu dibantukan kepada si miskin dalam bentuk roti. Wali kota Westerwald membangun pabrik roti yang besar dan konon merupakan pabrik roti terbesar di Prusia/Jerman kala itu.

Namun, dari bantuanya itu yang terjadi justru ternyata membuat orang-orang miskin bukan berkurang. Antrian untuk mendapatkan bantuan roti ternyata semakin hari justru semakin panjang. Orang-orang miskin itu ternyata justru menjadi berketergantungan pada bantuan yang diberikan.

Raiffeisen lalu merenung dan dia coba cari sebab masalahnya. Ternyata orang miskin itu semakin banyak karena tiga sebab. Pertama karena mereka terjerat oleh rentenir, para lintah darat yang meminjamkan uang dengan bunga yang mencekik. Kedua mereka jadi bergantung pada bantuan, sedekah Filantropi dan termasuk bergantung pada bantuan roti dari Bread Society yang dia bentuk. Ketiga, karena orang-orang itu selalu menggantungkan harapan kepada para politisi yang berjanji akan selamatkan hidup mereka ketika berkampanye yang hasilnya selalu nihil.

Berangkat dari tiga pokok sumber masalah itu lalu Raiffiesen mengeluarkan tiga resep penting 3 S, yaitu Self – Help (menolong diri sendiri), Self – Reliance (mandiri) dan Self Goverment (mengatur diri sendiri). Resep 3 S tersebut ternyata benar-benar jitu.

Setiap orang diminta untuk menolong diri sendiri dengan cara kerjasama di antara mereka. Mereka harus melakukan cara secara mandiri untuk mencari solusi kemiskinan dan yang ketiga mereka diminta tidak menggantungkan harapan pada janji-janji para politisi. Tapi dirikan organisasi yang mereka kelola sendiri dan untuk membantu selamatkan hidup mereka.

Mereka diminta untuk mengorganisir diri sendiri dengan membangun organisasi yang bernama Bank Koperasi, yaitu satu bank yang dimiliki, didirikan, dikelola dan dimodali dan ditujukan untuk melayani diri mereka sendiri yang sebelumnya telah diinspirasi oleh pendahulunya yang bernama Hermann Schulz. Seorang pengacara dan politisi di Jerman yang merintis lembaga keuangan dengan model yang sama khusus para perajin sepatu dan pedagang kecil.

Gagasan Raiffisien itu ternyata tak hanya berhasil melepaskan warganya dari jerat rentenir dan dari kubang kemiskinan. Rakyatnya di Westerwald ternyata jadi maju secara mental dan hidupnya menjadi lebih tertata dan punya perencanaan masa depan yang lebih baik. Idenya tak hanya menyelamatkan hidup, tapi juga mampu perbaiki karakter warganya.

Dari ide Raifeisen inilah kemudian menjadi inspirasi pengembangan bank milik warga yang terus berkembang ke seluruh penjuru dunia. Seorang tokoh sosialis Luigi Luzzatti dari Italia melakukan kunjungan tahun 1864 dan langsung mengembangkan di Itaiay. Menginspirasi seorang wartawan Koran Hansard dari Ottawa, Canada yang bernama Alphonse Desjardins dan mengembangkan di negaranya.

Ide itu terus mengalir, menginspirasi seorang pedagang kaya raya dari Massachusetts yang bernama Edward A. Filene yang kemudian dikembangkan di seluruh Amerika Serikat. Oleh Filene ini juga nama dari bank koperasi itu diganti menjadi Credit Union. Credit yang dalam bahasa Latin disebut Credere yang artinya adalah kepercayaan dan Union dia adopsi dari kata Trade Union (organisasi buruh) yang berasal dari bahasa latin Unus atau persatuan.

Credit Union jadi gerakan dahsyat dan jadi persatuan orang-orang yang saling percaya dan mengembangkan diri untuk dapat dipercaya. Dibangun dari kekuatan ikatan pemersatu (common bond) yang berupa persamaan nasib, persamaan tempat kerja, persamaan di tempat tinggal.

Dari gerakan tersebut kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia dan saat ini ada sekitar 500 juta orang yang penganutnya. Berkembang menjadi kekuatan solidaritas yang setara tak hanya bagi orang miskin, tapi antara orang-orang miskin dan orang kaya yang masih menempatkan visi kemanusiaan sebagai hal penting dalam hidupnya.

Bank Koperasi atau Credit Union ini berkembang pesat hingga hari ini dan jadi kekuatan ekonomi besar di banyak negara. Bahkan di antaranya menjadi Bank Of The Year dari negara itu. Sebut saja misalnya Bank Populaier di Prancis, Desjardins Bank di Canada yang asset-nya hingga Rp4.000 triliun lebih atau 4 kali lipat Bank BRI dan dimiliki puluhan juta warga Canada.

Dari ide bank milik warga (nasabah) tersebut juga telah sampai di Indonesia yang dibawa oleh seorang Asisten Residen Purwokerto W.P.D de Wolff van Westerrode tahun 1893. Walaupun ide anak muda idealis ini diamputasi oleh atasannya dari sejak awal karena dianggap akan memandirikan ekonomi pribumi dan akhirnya yang berkembang menjadi Bank BRI saat ini. Bank milik negara yang tak pernah mengundang rakyat pemiliknya untuk rapat pemegang saham ataupun bagi keuntungan kepada nasabahnya. Bank yang saham publiknya 74% telah dimiliki orang asing yang nikmati subsidi dari uang pajak yang kita bayar.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memilih menggelontori dana pinjaman dari pemerintah ketimbang memobilisasi dana dari warga. Mereka paham, karena cara itu dianggap akan memandirikan warga dan dengan kemandirian ekonomi. Ditengarai akan memberikan kesadaran bagi warga untuk punya keberanian politik dan pada akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintah Kolonial.

Walaupun demikian, ide Credit Union ini ternyata tetap berkembang setelah tahun 1970-an, dikembangkan oleh seorang Pastur Jesuit yang bernama Albrecht Kariem Arbie. Ketika pemerintah gencar bangun Koperasi Unit Desa (KUD) yang dibangun dari atas (top down), Pater Albrecht kembangkan Credit Union dari bawah (bottom up) dan dimulai, diawasi serta dikembangkan dengan basis pendidikan literasi keuangan dan tata kelola dan spirit Credit Union.

Saat ini, Gerakan Koperasi Kredit Indonesia (GKKI) telah dimiliki oleh 4,3 juta orang dan asset-nya kurang lebih 46 triliun rupiah dan tersebar di 918 koperasi primer di hampir seluruh propinsi di Indonesia dan terutama di Kalimantan Barat, NTT dan Sumatera Utara.

GKKI tersebut bernaung di 38 pusat koperasi tingkat daerah dan dua federasi nasional yang bernama Induk Koperasi Kredit (Inkopdit) dan Puskopcuina. Saat ini, walaupun baru di beberapa koperasi dan terutama di Kalimantan Barat mulai merintis gerakan baru yang bernama Gerakan Koperasi Sektor Riil Indonesia (GKSRI) yang terdiri dari 16 koperasi konsumen, koperasi pertanian, koperasi jasa di bawah naungan federasi nasional Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR) – www.inkur.id. Gerakan ini ke depan segera akseleratif menjadi kekuatan benteng lokal ekonomi masyarakat dari sistem ekonomi kapitalis yang semakin brutal dan banal disokong pemerintah saat ini.

Keunikan Credit Union

Gerakan Credit Union ini memang unik, tidak lazim. Lazimnya bank itu didirikan dan dimiliki oleh konglomerat kaya. Keputusan bank dan juga keuntungan sepenuhnya jatuh di tangan mereka. Nasabah itu hanya sebagai penabung atau peminjam. Bukan menjadi pemilik bank tersebut.

Credit Union ini seperti yang telah diceritakan di atas, dimulai dengan cara menabung dari orang-orang miskin di lembaga yang mereka dirikan sendiri. Bukan dilakukan dengan cara digelontori pinjaman seperti yang dilakukan pemerintah selama ini. Sebab pinjaman saja pada paradigma micro finance yang termutakhir terbukti bahwa tidak selesaikan masalah. Orang miskin akan melepaskan kemiskinanya jika mereka juga punya keterlibatan dan otoritas untuk tentukan kebijakan skema kredit seperti apa yang cocok dan mereka mau. Ini artinya mereka harus ikut jadi pemilik dari lembaga keuangan itu.

Seorang Mohamad Yunus, pakar dan praktisi micro finance, penerima Nobel Perdamaian bahkan juga mengakuinya di depan forum seminar di Amerika Serikat bahwa apa yang dilakukanya di Grameen Bank yang awalnya dia ingin tujukan untuk membantu orang-orang miskin. Terutama kaum perempuan untuk lepas dari kemiskinanya ternyata dia anggap gagal karena orang-orang miskin itu ternyata justru semakin luas terjerat oleh para rentenir baru yang berupa para makelar program dari sumber uang yang melimpah dari banyak organisasi dunia.

Kembali ke soal Credit Union, pertanyaan yang mendasar yang biasanya dilakukan oleh orang yang ditemui para aktivis Credit Union di lapangan itu adalah: bagaimama bisa si miskin disuruh menabung, padahal mereka itu adalah orang-orang miskin yang pendapatanya untuk makan saja tidak cukup.

Bisa jadi waktu pertama kali Frederic Weilhem Raiffiesen mengembangkan Credit Union tahun 1848 silam juga mendapatkan pertanyaan yang sama. Sebab secara rumus ekonomi itu lazimmya memang demikian. Tabungan atau investasi itu adalah sisa dari konsumsi. Dalam rumus sederhananya adalah sebagai berikut:
Y = C + S/I
Y = Pendapatan
C = Konsumsi
S = Tabungan
I = Investasi
Jadi yang namanya Tabungan/Investasi itu pasti selalu adalah sisa dari Konsumsi. Jadi bagaimana mau menabung atau berinvestasi kalau untuk berkonsumsi saja kurang.

Tapi faktanya di lapangan, sesungguhnya orang menjadi miskin bukan karena mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi sama sekali. Mereka masih tetap makan, merokok, minum kopi, bayar angsuran rentenir dengan bunga mencekik. Mereka faktanya adalah pekerja keras yang hasilkan uang namun uang mereka habis terutama untuk membayar para rentenir. Rentenir atau lintah daratlah yang membuat mereka miskin.

Lalu rumus utama ekonomi yang lazim itu diganti oleh orang-orang Credit Union. Mereka kembangkan rumus baru:
Y = C – S / I
Y = Pendapatan
C = Konsumsi
S = Tabungan
I = Investasi

Artinya yang namanya pendapatan itu, darimanapun sumbernya, mungkin dari mertua, dari sanak saudara, dari hasil kerja, selalu dikurangkan dulu untuk ditabung walaupun sekecil apapun baru kemudian sisanya dikonsumsi. Bukan tabungan adalah sisa konsumsi.

Sekecil apapun tabungan itu sangat penting. Dari tabungan yang dipaksakan itu orang dapat mengurangi gaya konsumsi yang secara hukum ekonomi, gaya konsumsi biasanya akan mengikuti tingkat pendapatanya. Dari tabungan rutin orang juga jadi lebih sadar akan masa depan, lebih punya perencanaan keluarga, sadar bahwa hidup mereka di masa depan penuh pengeluaran tak terduga yang solusinya tak akan mereka dapatkan kalau tidak menabung.

Nah, lembaga Credit Union yang mereka bangun, mereka kelola dan mereka awasi dan kontrol secara demokratis setiap orang satu suara itulah tempat mereka menabung. Prinsipnya menabung di Credit Union juga bukan hanya menyimpan uang. Tapi juga sebagai bentuk membangun solidaritas. Di mana menabung di Credit Union berarti sama dengan saling tolong-menolong antar tetangga mereka. Menabung juga sama dengan sedang membantu kesulitan keuangan tetangga dan demikian ketika mereka kesulitan juga tak perlu pinjam ke rentenir tapi ke Credit Union dengan prinsip “Kamu susah saya bantu dan aku susah kamu bantu.”

Demikianlah praktek gerakan Credit Union untuk melepaskan diri dari tiga masalah besar sebab kemiskinan, jerat rentenir, bansos dan janji politisi. Credit Union dibangun sebagai satuh hubungan solidaritas setara di antara sesama manusia dan bukan seperti hubungan karitas yang mendikte, menghinakan dan memiskinan waga dari Bansos! Masih mau sebar Bansos tuan dan puan? No!.

Jakarta, 23 Juli 2023

Suroto

Ketua AKSES & CEO WWW. INKUR.ID

Suroto

Artikel ini sudah terbit di govnews-idn.com

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *