Oleh: Suroto
JAKARTA, jurnal-ina.com – Inilah negeri yang kontras, Indonesia yang kaya sumber daya alam, khasanah kebudayaan, keanekaragaman hayatinya terluas nomor dua di dunia. Tapi hidup rakyatnya yang terbanyak jadi petani, nelayan, petambak, peternak, perajin hidup miskin tak terperi.
Untuk sekedar hidup layak pun tak mampu mereka cukupi. Sementara para mafia kartel yang kerjanya berkongkalikong dengan pejabat membuat kebijakan yang untungkan mereka sendiri, hidup berlebihan dan bermewah mewah.
Sejak menjadi bangsa merdeka 78 tahun silam, kata rakyat identik dengan miskin, kumuh, tidak berpendidikan. Mereka itu juga yang selama ini dijadikan sebagai target kelompok para makelar program pemerintah dan sasaran bantuan bantuan dan utang luar negeri serta penerima buih janji sampah politisi.
Kemiskinan di Indonesia bukan hanya gambarkan potret buram kondisi masyarakat. Tapi juga kondisi kesenjangan yang tajam dari elit kaya dan rakyat banyak. Selain wariskan ketidakberdayaan berkelanjutan.
Kekayaan 5 anggota keluarga konglomerat kaya sebesar Rp1.300 triliun sama dengan kekayaan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin. Penelitian SMERU (2020) juga menyebut 87% dari keluarga miskin tetap wariskan kemiskinan.
Politisi, birokrat setengah abad lebih melakukan upaya program pengentasan kemiskinan tersebut. Namun lagi-lagi nasib mereka tetap sama, miskin papa. Sementara para makelar program hidup enak sejahtera.
Rakyat diadvokasi, diberdayakan, dibina dan segudang istilah yang selalu berganti-ganti dengan hasil sama: miskin berkelanjutan. Kesalahan lama terus diulang dan solusinya selalu sama. Sakitnya sakit lama, tapi obatnya juga obat lama. Aktor elitnya juga sama, turun temurun beranak pinak.
Berteriak Lantang
Sebagian lagi anak-anak muda idealis yang baru lulus dari kampus lalu berteriak lantang untuk menyerukan lakukan perubahan dari dalam. Masuk ke ruang politik praktis dengan slogan, “orang baik harus masuk lakukan perubahan, jangan biarkan para pencoleng memimpin”.
Siklusnya ternyata juga terus berulang, para elit intelektuil itu hanya memperpanjang siklus pengkhianatan. Para aktivis yang dulu pernah berjuang hingga sampai diculik, sekarang antara penculik dan yang diculik sedang asik bermesraan. Mereka ternyata hanya turut memperpanjang siklus pencolengan.
Harapan perubahan seakan pupus sudah. Tidak mungkin berharap pada elit kaya perompak republik, tidak mungkin berharap kepada politisi dan birokrat boneka elit kaya. Sulit diharapkan juga datang dari hero-hero intelektuil yang garang dan bersuara lantang tapi idealismenya sangat tipis jaraknya dengan isi perutnya.
Apakah kita bisa berharap pada perubahan alamiah? seperti bekerjanya alam? Membiarkan alam mencari jalannya sendiri. Padahal, banjir bah tak terbendung di tengah hutan yang telah dirusak oleh elit konglomerat hitam pengejar keuntungan yang hasilnya melalap semuanya. Rakyat kecil menjerit di mana-mana. Mereka lagi lagi yang jadi korban pertama. Sementara elit pemilik korporasi justru yang sering mendapat talangan (bailout) negara.
Konsep Antonio Gramci mungkin salah satu harapannya, munculnya mesias yang disebut dengan intelektuil organik. Sekelompok elit intelektuil yang dengan ketulusan dan kerelaan hati membela rakyat dan berkerja bersama mereka. Membangun basis dan menjalani laku hidup yang sama dengan rakyat yang mereka bela. Para elit pembaharu genuine. Mereka yang bersama-sama rakyat merebut apa yang menjadi hak mereka yang dirampok. Pertanyaanya, masih adakah intelektuil organik di tanah suci Republik Indonesia tercinta ini?
Jakarta, 19 Juli 2023
Suroto