JAKARTA, jurnal-ina.com – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina melalui Paramadina Communication Institute (PCI) membuat forum seminar & peluncuran buku dengan tema “Strategi Komunikasi Politik Jelang Pemilu 2024”.
Acara diadakan di Aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina dihadiri oleh mahasiswa, praktisi dan akademisi ilmu komunikasi. Diskusi ini sekaligus membahas isi buku “Komunikasi Politik, Aktivisme dan Sosialisme” yang ditulis Erik Ardiyanto M.Ikom selaku Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina.
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi, Tri Wahyuti, M.Si mengatakan bahwa tujuan forum ini untuk mengapresiasi hasil penelitian dan pemikiran dosen, bukan hanya untuk warga kampus, tetapi jugaseluruh masyarakat. “Tujuan acara ini adalah ingin memberikan ruang publikasi bagi dosen untuk dapat mengaktualisasikan dirinya atas hasil penelitian dan pemikiran yang telah dicapainya. Tentunya ruang ini tidak sebatas di lingkungan universitas, tetapi juga berdampak untuk masyarakat secara luas,” ujar Tri Wahyuti.
Narasumber pada diskusi ini adalah Erik Ardiyanto M.Ikom penulis buku & Dosen Ilmu Komunikasi, Abdul Malik Gismar, Ph.D Dosen Magister Ilmu Komunikasi dan Tia Rahmania M.Psi, Psikolog dosen Program Studi Psikologi & aktivis politik perempuan. Ketiga narasumber itu membahas tentang bagaimana situasi yang akan kita hadapi dan apa yang perlu kita siapkan untuk menjelang pemilu di tahun 2024 mendatang.
Dalam sambutan pembukanya, Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc, Ph.D Rektor Universitas Paramadina menyatakan bahwa partai politik era sekarang harus berkolaborasi untuk menciptakan suatu titik temu yang bermanfaat. “Sekarang ini ideologi dalam partai politik itu sifatnya adalah transaksional, jadi ideologi yang ada di partai politik itu seperti pita. Kedua ujung pita tersebut bisa bertemu untuk menghasilkan sesuatu dalam lingkungan masyarakat,” kata Didik.
Menurutnya masyarakat selalu berinteraksi dan bertukar pikiran satu sama lain. Maka dari itu, manusia dianggap institusi pertukaran (exchange). “Kita belajar komunikasi itu sebagai institusi pertukaran. Komunikasi politik adalah pertukaran antara law maker dengan masyarakatnya. Dalam perdagangan internasional pertukaran antara importir dengan eksportirnya. Dan pemilu adalah para calon dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, ilmu sosial dianggap exchange,” tambahnya.
Narasumber pertama, Erik Ardiyanto menyatakan bahwa melalui buku ini kita bisa belajar dari tokoh-tokoh politik seperti Bernie Sanders, Alexandria Ocasio-Cortez dan Jeremy Corbyn.
Menurut Erik, mereka bertiga adalah politisi sukses yang menarasikan kembali ide-ide sosialisme modern kepublik “Hingga kini, proses negasi politik sosialisme sebagai alternatif atas politik kapitalisme terus hilang di benak publik karena distorsi media-media dan aktor-aktor politik yang tidak menginginkan ide itu terwujud, tetapi tidakdengan 3 tokoh tersebut,” sebutnya.
Semacam Pembelajaran
Dia juga berharap melalui buku yang ditulisnya menjadi semacam pembelajaran untuk membangun keyakinan kepada para aktivis mahasiswa bahwa dengan bermodal ide dan gagasan, seorang aktivis bisa sukses dalam kontestasi politik seperti ketiga tokoh itu.
Narasumber kedua, Abdul Malik Gismar, Ph.D memberikan pandangan tentang cara kita membaca media menuju pemilu di tahun 2024. Dia berpendapat bahwa para pengguna media sosial jangan terjebak ke dalam Echo Chamber yang hanya berisikan potongan-potongan dari satu narasi yang digunakan untuk mempolitisir agenda-agenda di publik.
“Kita jangan terjebak oleh informasi di media sosial yang terus memberikan informasi berdasarkan algoritma. Hal itu berpotensi berada dalam lingkup Echo Chamber di mana kita enggan melihat suatu informasi yang nyata dan tertutup oleh keyakinan kita saja,” tutur Abdul Malik.
Berbeda dari kedua narasumber tersebut, narasumber yang ketiga, yaitu Tia Rahmania M.Psi, Psikolog memberikan pandangannya tentang keterlibatan perempuan di dunia politik. Kepada peserta seminar perempuan dia menanyakan siapa yang ingin berpartisipasi terjun ke dunia politik. Mayoritas forum menjawab tidak ingin atau belum berminat untuk menjadi seorang politisi.
Mengaitkan dengan realita tersebut, dia menjelaskan tentang dirinya secara singkat bagaimana dunia politik bagi perempuan di zaman sekarang. “Kita sebagai perempuan harus berani terjun langsung ke dunia politik. Perempuan diberkahi empati yang tinggi dalam lingkungan masyarakat, sehingga kepekaan yang ada pada perempuan bisa membuat perubahan dan memperbaiki lingkungan sekitarnya,” urai Tia
“Komunikasi Politik pada dasarnya adalah bagaimana cara seorang individu mendapatkan satu kekuasaan. Secara harfiah, politik itu sendiri artinya tentang kekuasaaan, namun dalam artian yang lebih luas politik itu berarti bagaimana satu kekuasaan dapat berguna bagi lingkungandan sekitarnya,” imbuhnya.
Di akhir acara, narasumber berharap acara dengan bentuk forum seperti ini dapat diperbanyak lagi, sehingga menjadi wadah untuk memperkaya pengetahuan di bidang politik.
UP – AYRP
“Hingga kini, proses negasi politik sosialisme sebagai alternatif atas politik kapitalisme terus hilang di benak publik karena distorsi media-media,” ungkap Erik Ardiyanto. Foto: UP.
Artikel ini sudah terbit di govnews-idn.com