Oleh: Suroto
JAKARTA, jurnal-ina.com – Masalah sistem pemilihan umum (Pemilu) untuk anggota parlemen saat ini sedang menuai kontroversi antara sistem proporsional tertutup atau proporsional terbuka. Ini dipicu uji materi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi atas Undang Undang Pemilu oleh sekelompok masyarakat akhir-akhir ini.
Hampir semua fraksi kecuali PDI Perjuangan menyatakan tetap ingin pertahankan sistem pemilu proporsional terbuka. Sementara PDI Perjuangan menyatakan tidak setuju dan ingin dikembalikan ke sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional terbuka yang dilaksanakan saat ini memang menuai masalah serius karena menyebabkan pemilu menjadi mahal karena antar kader partai harus bersaing secara terbuka. Saling tikam-menikam di dalam tubuh partai.
Misi kepentingan perjuangan ideologi partai menjadi tergerus. Fenomena “politisi artis” yang hanya andalkan basis elektoral dan abaikan soal karya, kedisiplinan ideologi dan kadar intelektualitas kader masuk dalam kontestasi pemilu adalah bagian dari penjelasan betapa bobrok dan liberalnya sistem pemilu terbuka ini.
Sementara itu, sistem proporsional tertutup dianggap otoriter karena keputusan calon legislatif ada di tangan pengurus partai dan kepentingan masyarakat konstituennya dapat saja tereduksi.
Partai politik itu pada dasarnya adalah organisasi perjuangan ideologi. Melalui pemilu legislatif, partai politik mendapatkan ruang kontestasi demokrasi untuk menentukan wakil-wakil mereka di parlemen untuk memperjuangkan aspirasi ideologinya itu.
Jadi sesungguhnya sistem proporsional tertutup itu memiliki relevansi lebih baik karena hakekat perjuangan partai itu bukan soal siapa yang duduk mewakili konstituennya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tapi bagaimana kepentingan ideologi partai diperjuangkan.
Yang Buruk
Namun demikian, walaupun diterapkan sistem pemilu proporsional tertutup kembali ataupun terbuka seperti saat ini, pada dasarnya hanya akan hasilkan kualitas anggota parlemen yang buruk jika tidak dilakukan perombakan sistem kepartaian yang patrimonial yang berlaku di hampir seluruh partai politik di Indonesia saat ini.
Sistem patrimonialisme adalah sistem regenerasi partai yang mengutamakan ikatan genealogis atau pewarisan dengan penujukan elit partai. Di mana secara legal mereka melakukan proses rekayasa agar anak atau keluarga para elit partai masuk di partai tanpa melihat kapasitasnya. Mereka tidak pertimbangkan kualitas kader dan prestasi karyanya bagi masyarakat, sehingga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan.
Bahkan melalui kekuatan klik tertentu mereka terus menyetir kepentinganya. Inilah yang kemudian membuat proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan. Semakin berkuasa satu kelompok atau bahkan keluarga dalam tubuh partai maka semakin berbahaya bagi berjalannya demokrasi.
Jadi, jika memang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memang akan mengembalikan sistem proporsional tertutup agar tidak liberal seperti saat ini, maka koreksi sistem demokrasi di partai politik harus menjadi prasyaratnya.
Di dalam undang-undang kepartaian harus diatur tegas mengenai misalnya putusan strategis yang bersifat kolektif kolegial bukan privelege ketua umum, batasan jabatan pengurus parpol dibatasi maksimal dua periode, dilakukan pembatasan terhadap hubungan keluarga semenda dalam kepengurusan partai dan lain sebagainya.
Masalahnya adalah, apakah dengan struktur partai-partai politik yang didominasi oleh paham patrimonialisme ini mungkin akan terjadi perombakan total dari sistem kapartaian kita? Ini juga sama saja mengharap satu perubahan yang tidak mungkin. Harapan perubahan satu-satunya adalah melalui jalur formal lakukan uji materi terhadap UU Kepartaian atau desakan luas dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan sah dari negara ini.
Jakarta, 29 Mei 2023
Suroto