M. Nigara
Wartawan Sepakbola Senior
JAKARTA, jurnal-idn.com – ALHAMDULILLAH. Kata itu yang pertama keluar dari mulut saya. Sungguh, bersyukur Rizky Rhido dan kawan-kawan akhirnya mampu mengalahkan Vietnam 3-2, di Olympic Stadium, Phnom Phen, Kamboja, Sabtu (13/5/2023). Kemenangan ini membawa anak-anak asuhan Indra Sjafri ke final cabang olahraga sepakbola SEA Games ke-32.
Kemenangan ini sekaligus menepis anggapan mereka yang selama ini nyinyir pada tim U-22 kita itu. Kesuksesan mereka di babak grup, dinilai sebelah mata. “Apa hebatnya? Lawan Filiphina, Myanmar, Timor Leste dan Kamboja. Mereka akan hancur saat bertemu tim kuat seperti Vietnam atau Thailand!”. Begitu nyinyiran mereka sambil mengulum senyum sinis.
Unik memang, ada orang Indonesia, justru tidak suka tim nasional kita menang. Padahal orang-orang itu, juga tidak punya prestasi apa pun yang bisa dibanggakan untuk kepentingan bangsa. Allah melarang orang iri dan dengki pada orang lain.
Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Anisa 32)
Death Throw
Sayang kemenangan kita harus dibayar mahal karena Pratama Arhan terkena kartu merah (dua kali kartu kuning). Kecerobohan Arhan suka atau tidak akan melemahkan daya gedor tim U-22 kita.
Arhan, pemain belakang kelahiran (21/12/2001), di Kabupaten Blora itu, memiliki keunggulan yang sangat langka. Mantan pemain PSIS yang kini bermain di klub Jepang, Tokyo Verdy itu, mampu melakukan throwin atau lemparan ke dalam sangat keras. Dua gol kita ke gawang Vietnam buah dari Death Throw (Lemparan Mematikan) Arhan.
Dari sisi kanan gawang Vietnam, Arhan melempar keras dan tajam. Bola disambut oleh sundulan Komang, 1-0. Lalu, dalam momen yang nyaris sama, Arhan kembali melakukan lemparan keras sekali ini bola ditepis kiper dan melambung ke depan. Marselino menyambutnya dengan sepakan deras. Bola menyenggol kaki Muhammad Ferrari dan berbelok, gol, 2-1.
Sementara gol kemenangan kita dilesakkan oleh Muhammad Taufany, pemain Borneo di saat injury time. Pertarungan itu sendiri diperpanjang delapan menit, satu jumlah menit yang langka.
Di final, Arhan pasti absen. Pertanyaannya, siapa lagi yang mampu melakukan death throw macam Arhan? Secara kasat mata, kita tak lagi memiliki pemain sekaliber itu. Tapi, itu bukan alasan untuk menyerah sebelum berperang.
Apa yang dipertontonkan pada kita dalam partai semi final itu, adalah kepercayaan diri, kekuatan mental, kekompakan, keseriusan dan keyakinan. Jika semua itu bisa kembali diperlihatkan, bukan tidak mungkin kita juga bisa mengulang peristiwa 1991, di Stadion Rizal Memorial, Manila. Indonesia untuk kedua kali meraih medali emas atas Thailand.
Sejak Seag kedua 1979, sudah 22 kali kita bertemu Thailand. Kita menang 5 kali, draw 2 dan kalah 15 kali. Ada empat kekalahan yang sangat memalukan: SEAG 1983 (0-5), 1985 (0-7), 2003 (0-6) dan SEAG 2015 (0-5).
Untuk itu, Indra Sjafri dan seluruh kekuatan harus mampu menguasai diri. Kemenangan atas Vietnam jangan membuat kita kelebihan euforia. Jujur, Vietnam yang kita hadapi itu bukan akhir dari perjalanan.
Laga final ini merupakan final ke-8 dari 32 SEAG, 2 di antaranya kita mampu menjadi juara dan 5 di antaranya perak. Sementara bagi Thailand, ini merupakan final ke-18, 14 di antaranya meraih emas dan 3 perak. Hebatnya 1981, 1983 dan 1985, hattrick juara. Lalu sejak 1993 hingga 2007, 8 kali juata. Kemudian kembali hattrick, 2013, 2015 dan 2017.
Tidak mudah, pasti. Serupa dengan tidak mudah kita bisa mengatasi Vietnam. Namun, faktanya Rizky Rhido dan kawan-kawan mampu mengatasinya dan bukan hanya menang skor, tapi juga menang mental.
Sekali lagi, terus berusaha dan terus pula percaya bahwa kita bisa juara.
M. Nigara
Artikel ini sudah terbit di govnews-idn.com