Pandangan Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachini, M.Sc., Ph.D.
JAKARTA, jurnal-ina.com – Realitas politik berubah setelah PDIP dalam gerak cepat dan mendadak mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden dari PDIP. Dan secara mandiri PDIP dapat mengusung calon presiden sendiri. Dengan keputusan Megawati tersebut, tanpa konsultasi dengan Jokowi, kontroversi dan pertentangan pengusung Puan Maharani dan pengusung Ganjar Pranowo selesai. Tetapi masalah baru muncul, kekuatan politik Jokowi dan PDIP bersaing dengan implikasi baru pada peta politik nasional dan mulai terjadi proses koalisi yang semakin mengerucut pada tiga calon dengan kekuatannya masing-masing.
Faktor Jokowi menjadi faktor signifikan yang tidak biasanya karena dalam pilpres sebelumnya, presiden yang akan mundur tidak terlibat langsung dalam politik praktis mengarahkan calon presiden penerusnya. Presiden Habibie, Megawati dan SBY tidak cawe-cawe ikut masuk ke dalam politik praktis pilpres. Mereka memilih menjadi negarawan setelah masa jabatannya habis. Jokowi lain lagi, ikut terlibat dan parta-partai ingin mendapatkan manfaat dari dukungan politik Jokowi sehingga peta baru pilpres menjadi aneh dan berbeda dibandingkan lima tahun sebelumnya, tapi juga menarik bagi lainnya.
Tetapi kemudian KIB yang kecenderungannya akan mengusung Ganjar Pranowo, Jokowi kehilangan angin dan secara mengejutkan mulai berbalik untuk mengusung Prabowo Subianto. Itu diperkuat oleh relawan Jokowi yang mencetuskan memilih Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden, yang akan mungkin diusung oleh Jokowi.
Pertentangan dan perselisihan elit kemudian semakin meluas dan bahkan menjadi lebih keras dalam hal capres dan akan berlanjut semakin tegang saat kampanye dan saat pilpres nanti. Pilpres belum mulai tetapi ketegangan di lapangan sudah mulai panas karena banyak sekali upaya-upaya mengganjal Anies karena berseberangan dengan Jokowi. Itu terlihat dari Presiden tidak mengundang Nasdem ketika mengundang partai-partai politik yang dianggap koalisi di bawah Jokowi. Pertentangan yang keras telah terjadi antara Nasdem vs Jokowi selama beberapa bulan terakhir ini dan mungkin akan terus berlanjut ke depan.
Pertentangan elit baru yang berikutnya terjadi selama beberapa minggu terakhir ini ketika Jokowi berseberangan dengan PDIP setelah mengusung Ganjar Pranowo secara tiba-tiba dan mendadak. Usaha-usaha untuk menyatukan Ganjar dan Prabowo yang masih tahap awal bubar dan memang hampir tidak mungkin lagi sehingga secara rasional calon presiden nanti akan ada tiga pasangan. Semua ketiga calon presiden itu juga pusing dengan calon wakil presidennya masing-masing. Ini merupakan masalah tersendiri yang sangat mungkin akan terwujud last minutes, seperti Mahfud digantikan Ma’ruf Amin.
Jadi KIB bubar atau hampir bubar, apalagi PPP sudah menyeberang lebih dahulu ke PDIP walau pun belum final. PPP tempatnya bukan di situ karena arus bawahnya berkiblat ke Calon Presiden yang lain. Ini merupakan faktor ketidakstabilan baru di PPP sendiri sehingga pasca Jokowi pasti akan ribut kembali karena perubahan kepemimpinan PPP adalah pesanan dari luar.
Yang tersisa adalah partai besar di masa lalu, yaitu Golkar, yang sekarang lemah dan sudah diombang-ambingkan faktor dan kekuatan eksternal. Juga PAN dan PKB sedang melakukan reorientasi kemana arah dukungan selanjutnya setelah KIB bubar. Momentum transisi ini sangat berpeluang besar bagi Golkar dan PAN untuk membuat membuat poros ke-4 demi memperkuat ketahanan partai. Jika mengekor saja, maka partai pengekor tidak akan mendapat tambahan suara, kecuali dapat jatah menteri kemudian hari.
Paling Stabil
Golkar pernah besar dan partai paling stabil pada saat ini. Golkar sebenarnya berkehendak untuk membuat debut sendiri dan mengusung capresnya karena diharapkan akan berdampak pada elektabilitas partainya. Ini merupakan peluang untuk berkiprah mengusung pasangan sendiri sehingga bisa membuat peta politik baru menjadi 4 pasangan dan koalisi baru Golkar PAN cukup untuk mengusungnya.
Jika Golkar dan PAN bergabung dengan 6 koalisi partai dan mengusung Prabowo, maka hanya akan menjadi partai pengekor. Dampak positifnya hanya akan dinikmati Partai Gerindra. Golkar tidak mendapat apa-apa dalam hal votes, kecuali jatah menteri. Itu pun jika menang.
Ini sebenarnya kesempatan atau peluang besar bagi Golkar dan PAN serta partai tengah lain untuk berkiprah mengusung calonnya sendiri. Jika Golkar mengusung Airlangga maka dinamika partainya akan hidup selama pilpres daripada mengusung kader partai lain. Wakil dari kader PAN bisa bergabung dengan Golkar.
Apalagi jika Golkar berhitung matematis votes secara strategis mengusung kader barunya, Ridwan Kamil, sebagai calon presiden, maka suara Jawa Barat akan disapu bersih. Golkar akan mendapat manfaat besar dalam demokrasi terbuka ini.
Koalisi yang lebih tersebar menghindari dominasi kekuasaan yang otoriter seperti sekarang ini. Koalisi 82% di parlemen menyebabkan demokrasi terancam dengan wajah pemerintah dan aparat yang sudah otoriter.
Tentu strategi koalisi pilpres seperti ini dengan poros baru keempat akan menyebabkan pilpres dua tahap masuk ke perputaran kedua. Dua pasangan akan lanjut, partai-partai yang kalah berada di posisi ketiga dan keempat akan berhitung lagi dengan pembentukan koalisi baru. Golkar dan PAN tidak akan kehilangan kesempatan berkiprah pada putaran kedua ini.
Ada tiga kemungkinan pasangan yang siap selama hampir setahun terakhir ini berdasarkan elektabilitas tiga calon yang ada. Dengan komposisi tiga pasangan calon tersebut, maka tidak mungkin pilpres berjalan satu putaran. Masuknya poros keempat PG dan PAN tidak akan mengubah kemungkinan itu sehingga keduanya, PG dan PAN bisa menjajal ikut pesta demokrasi di pilpres sehingga akan mengambil keuntungan elektabilitas partainya. Jadi, inisiatif poros keempat bisa dikatakan rasional dilihat dari kepentingan partai-partai yang terus bersaing satu sama lain.
Didik J. Rachbini.
Artikel ini sudah terbit di govnews-idn.com