Oleh: Suroto
JAKARTA, jurnal-ina.com – Demonstrasi yang dipelopori mahasiswa tahun 1998 telah lahirkan agenda reformasi. Namun agenda reformasi yang diinginkan ternyata belum banyak disentuh dan bahkan banyak yang mengalami kemunduran. Para aktivis yang dilahirkan oleh reformasi juga banyak di antaranya yang justru hanya memperpanjang siklus pengkhianatan dari para intelektuil.
Tuntutan reformasi yang penting di antaranya adalah Amendemen Undang Uundang Dasar (UUD), pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), pencabutan Dwi Fungsi ABRI, penegakan hukum, penegakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi, penegakan kebebasan pers serta pemberian hak otonomi kepada daerah-daerah.
Beberapa catatan hasil dari pelaksanaan agenda reformasi hingga saat ini adalah:
1. Amandemen Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
Amandemen UUD telah dilakukan hingga 4 kali perubahan, namun amanah penting dari UUD tidak dilaksanakan. Bahkan tercipta kekacauan hukum yang semakin parah.
Sebagai misal adalah tidak dilaksanakanya amanah UUD untuk segera bentuk Undang Undang (UU) Sistem Perekonomian Nasional sebagaimana diperintahkan dalam UUD NKRI pasal 33 ayat 5. Hingga saat ini ini jangankan dilaksanakan, diwacanakanpun tidak pernah.
Padahal ini adalah pasal yang sangat penting dan bahkan telah menjadi ketetapan khusus dari Majelis Permuswawaratan Rakyat dalam TAP No. XVI/ 1998 Tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokratisasi Ekonomi karena dianggap pelaksanaan ekonomi yang ada telah menciptakan kesenjangan ekonomi dari elit kaya dan rakyat kebanyakan yang sudah cukup parah.
Sejak dilakukan Amandemen UUD 1945 juga lahir banyak UU yang bertentangan dengan UUD. Sebut misalnya UU Sumber Daya Alam, UU Perkoperasian, UU Minerba, dll.
Pemerintah dan Parlemen bahkan ciptakan kekacauan hukum dengan hasilkan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai bertentangan dengan UUD atau inkonstitusional. Namun tetap dipaksakan dengan diundangkanya kembali. Padahal sunstansi dari UU tersehut bertujuan sangat buruk karena isinya adalah rompi pengaman bagi kongkalikong kepentingan ekonomi para elit kaya dan elit politik.
2. Tuntutan penghapusan KKN ; korupsi, kolusi dan nepotisme
Apa yang dipanen dari hasil tuntutan penghapusan KKN hari ini adalah korupsi semakin merajalela di mana-mana, kolusi pejabat dan pengusaha semakin sempurna, mereka bahkan para elit kaya itu telah berhasil merebut kursi parlemen dan eksekutif.
Nepotisme diumbar secara vulgar dan politik dinasti dikembangkan dari pucuk-pucuk pimpinan partai maupun pemerintah. Tanpa malu-malu anak, istri, mertua, besan dan lain-lain didorong jadi pejabat publik dari tingkat pusat sampai kampung-kampung.
3. Cabut Dwi Fungsi ABRI
Dwi Fungsi ABRI dicabut tapi justru menjadi multifungsi. Bukan kembali ke barak perkuat profesionalitas kerja namun malah ikut mengurus segala urusan sampai soal tanam padi di sawah dan lain lain.
4. Penegakan hukum
Hukum dalam prakteknya tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Contoh paling mutakhir misalnya soal izin tambang emas pulau Sangihe. Pulau kecil yang menurut peraturan tak boleh ditambang ini justru separuh lebih dari pulau ini diizinkan untuk ditambang walaupun pemerintah daerah dan masyarakat secara terang-terangan juga menolak.
Sedulur sikep di Rembang, Jawa Tengah yang jelas sudah menang secara hukum dan mendapat putusan final (inkracht) atas tuntutan penghentian pabrik semen yang merusak lingkungan, sampai hari ini putusan hukum itu diabaikan dan pabrik tetap saja dijalankan. Hari-hari, para petani yang hidup sederhana dan tak pernah mengganggu orang lain itu diinjak-injak hak konstitusionalnya.
Peraturan-peraturan dibuat dan dilaksanakan secara minus moral.
5. Penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi serta kebebasan Pers
Pelanggaran HAM berat bukan mendapatkan penyelesaian namun justru memunculkan pelanggaran HAM berat lainya. Kebebasan untuk berbicara diberangus di mana-mana. Para seniman mural bahkan mesti hadapi represi dan para pembela hak asasi manusia dikriminalisasi.
6. Otonomi Daerah Seluas Luasnya
Gerak pembangunan masyarakat yang mestinya semakin otonom di daerah tetap tersandera. Paket kebijakan dibuat di pusat lalu dikirimkan ke daerah. Daerah dilepas kepalanya tapi ditarik ekornya. Agenda-agenda nasional lebih menonjol menutup kepentingan kepentingan aspirasi lokal.
Demokrasi, yang artinya sama dengan kepentingan rakyat atau kedaulatan rakyat itu telah berubah jadi daulat oligarki. Reformasi telah dikorupsi dan sebagian mereka yang dulu berdiri di garda depan reformasi saat ini justru secara gamblang jadi pecundang.
Negara hari ini, dalam posisi telah dikangkangi dan tersubordinasi oleh kuasa konglomerasi korporasi besar. Pemerintah hari ini menjadi semakin lemah di hadapan para mafia kartel. Masyarakat sipil telah tersubodinasi. Pembodohan massal terjadi di mana-mana, termasuk di ruang ruang akademik, ladang akademia yang seharusnya suarakan kebenaran. Sekolah dan kampus bukan jadi arena untuk belajar merdeka tapi merdeka belajar.
Suroto