JAKARTA, jurnal-ina.com – Praktek kejahatan keuangan dengan menggunakan kedok koperasi termasuk pencucian uang yang luas dan sistemik. Dampaknya di masyarakat dikhawatirkan akan meningkat jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian tidak segera disahkan.
Sampai saat ini di Indonesia belum ada regulasi yang mampu menjalankan fungsi sebagai penangkal terjadinya praktek kejahatan keuangan berkedok koperasi, termasuk pencucian uang yang memanfaatkan celah lemahnya pengawasan koperasi.
Oleh karena itu, akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emi Nurmayanti berharap RUU Perkoperasian yang baru mampu menjadi tameng untuk menangkal aksi kejahatan kerah putih tersebut. Dia menyebutkan aksi pencucian uang di tubuh koperasi memang satu fakta yang tak bisa dipungkiri.
“Di komunitas koperasi ada istilah Pengusaha Koperasi,” kata Emi kepada wartawan, di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) RUU Perkoperasian, di Jakarta, Rabu (12/4/2023).
Emi mengakui banyak koperasi, khususnya KSP yang melayani non anggota. Bahkan ada KSP yang memiliki 10.000 nasabah, tapi hanya 200 orang saja yang menjadi anggota koperasi. “Ini salah satu celah untuk praktik pencucian uang,” ujar Emi.
Menurut dia, sebenarnya pada praktek koperasi di Indonesia, banyak yang melanggar karena pengawasan masih kurang dan lemah. Bahkan untuk penindakan juga belum ada aturan yang jelas dan tegas. “Dan baru di RUU Perkoperasian yang baru ini sudah mulai dibahas tentang pengawasan, hingga sanksi pidana,” lanjut Emi.
Sementara Dr Yeti Lis Purnamadewi dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB sangat berharap adanya RUU Perkoperasian ini untuk menyelesaikan maraknya kejahatan keuangan, hingga mampu mampu menjamin keamanan KSP. “Koperasi memang menjadi wadah empuk untuk melakukan pencucian uang,” tuturnya.
Untuk itu, Yeti meminta aturan untuk mendirikan koperasi, bukan dilihat dari jumlah anggota, tapi untuk membentuk koperasi harus tercapai dari skala ekonominya.
Krusial dan Positif
Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi mengungkapkan setidaknya ada tiga hal krusial dan positif yang bisa dirasakan masyarakat. Khususnya anggota koperasi, dengan kehadiran RUU Perkoperasian yang baru.
Mereka sangat antusias mendengarkan pembicaraan FGD.
“Pertama, adanya jaminan perlindungan bagi anggota dan koperasi dengan hadirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi. Saat ini, ada sekitar 30 juta orang yang tercatat sebagai anggota koperasi yang harus terlindungi simpanannya,” ucap Zabadi.
Azas keadilan yang juga bisa dirasakan anggota koperasi, seperti halnya nasabah di sektor perbankan dengan adanya LPS Koperasi. “Saya meyakini, bila ada LPS Koperasi, dampak koperasi gagal bayar yang sedang ramai saat ini, tidak akan sebesar sekarang,” urai Zabadi.
Disebutkan, masih banyak pelaku UMKM yang belum mendapat akses pembiayaan dari perbankan. “Bila ada jaminan LPS, jumlah anggota koperasi yang 30 juta akan bertambah besar lagi. Di sisi lain, pelaku UMKM yang belum bankable juga bisa terlayani kebutuhan permodalan dari koperasi,” terangnya.
Kedua, dengan adanya RUU Perkoperasian yang baru, koperasi bisa bebas bergerak ke seluruh sektor usaha, tidak hanya simpan pinjam. “Jangan ada istilah pembonsaian koperasi, karena koperasi juga merupakan entitas bisnis yang memiliki hak yang sama dengan entitas bisnis lainnya.”
Artinya, dengan badan hukum koperasi bisa memiliki bank, rumah sakit, membangun infrastruktur, pertambangan dan sebagainya. “Sebagai entitas bisnis, koperasi bisa masuk ke dalam ekosistem yang sama dengan entitas bisnis lain,” tukasnya.
Ketiga, RUU Perkoperasian yang baru bakal menghadirkan Otoritas Pengawas Koperasi (OPK). Intinya, dengan semakin majunya dinamika kehidupan di tengah masyarakat, penguatan pengawasan koperasi menjadi sesuatu yang harus dilakukan.
“Koperasi juga merupakan bisnis jasa keuangan. Maka, penguatan pengawasan, tentunya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Semua koperasi, termasuk koperasi-koperasi besar, sepakat untuk diawasi OPK,” Zabadi mengemukakan dan menggarisbawahi sanksi pidana tegas ada dalam RUU Perkoperasian.
Sebab, dari pengalaman kasus koperasi bermasalah, bisnis keuangan koperasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi guna pengembangan bisnisnya. “Belum lagi menyangkut tindak pidana pencucian uang yang selama ini memanfaatkan keberadaan koperasi,” papar Zabadi serta menegaskan bahwa harus diatur lewat RUU Perkoperasian yang baru untuk menutup celah.
Mulia Ginting – Erwin Tambunan
“Saya meyakini, bila ada LPS Koperasi, dampak koperasi gagal bayar yang sedang ramai saat ini, tidak akan sebesar sekarang,” urai Zabadi. Foto: KemenKopUKM.
Artikel ini sudah terbit di govnews-idn.com