JAKARTA, jurnal-ina.com – Selama ini, ketika muncul suatu masalah besar kebangsaan dan kenegaraan yang mengemuka di tanah air, selalu wujud tuntutannya lebih banyak dalam bentuk reaksi moral. Jarang sekali muncul tuntutan yang dimaterial untuk perubahan sistem. Sehingga begitu kasusnya mereda, masalah sesungguhnya tetap terus berjalan dan kemudian masalah akan terus berulang.
Sebut saja misalnya soal kasus pamer harta pejabat pajak dan penganiayaan anak pejabat pajak yang mengemuka akhir-akhir ini. Masyarakat tidak suka melihat petugas pajak yang pamer harta mereka, lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani segera perlihatkan tindakanya dengan cara merilis jumlah harta pejabat. Melarang pejabat pajak untuk gabung di konvoi Motor Gede (Moge).
Sifat reaksi moral itu memang mengarah pada bagaimana satu tindakan itu dapat dianggap sebagai kebaikan semata, bukan kebaikan substantif. Bentuk tindakanya juga lebih mudah hasilkan drama yang mengharu biru.
Reaksi moral itu memang lebih mudah, tidak butuh mengasah pikiran, perenungan, refleksi, untuk temukan sumber-sumber pokok masalah sebenarnya dan temukan solusinya. Sehingga sifat dari reaksi moral itu menjadi bersifat permukaan. Masalah sesungguhnya juga tidak mendapat solusi mendasar tapi hanya bersifat simtomik.
Pamer Harta
Masyarakat kita sekarang ini memang terjangkit secara akut oleh yang namanya penyakit materialisme. Menjadi masyarakat bendawi. Mengagungkan yang material dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Dalam sistem masyarakat yang materialistis, kekayaan, jabatan menjadi bahan untuk dipamerkan. Kepemilikan hal hal bendawi dianggap sebagai prestise. Jabatan publik ditonjolkan sebagai bentuk kehormatan.
Harta dikejar dengan cara cara korup dan menindas tidak dianggap sebagai masalah. Jabatan dikejar dengan halalkan segala cara dianggap biasa. Kekayaan ditumpuk dan jadi sumber pembentuk kekuasaan dan kesewenangan dianggap sebagai kewajaran. Emblem jabatan dipasang sebagai penanda orang di sekitarnya agar segera memberi hormat kepadanya.
Merek benda, jabatan itu menentukan siapa dirimu. Consumo ergo sum. Apa yang kamu konsumsi, apa jabatanmu, menentukan siapa dirimu. Pada akhirnya, sikap orang menjadi sombong dan congkak ketika merasa dirinya itu berkelebihan materi dan kekuasaan. Martabat manusia begitu mudahnya dihinakan hanya karena dia terlihat lusuh, compang-camping dan tak punya pangkat dan jabatan.
Penyakit itu tak hanya menjangkit pada mereka yang kaya raya dan punya kuasa. Mereka yang miskin papa secara materi dan lemah tak punya kuasa ataupun jabatan juga terserang penyakit mental yang sama. Mereka menjadi terlihat inferior, tunduk dan kalah, bahkan menjadi fatalis.
Keduanya menunjukkan bahwa pada dasarnya sama. Menunjuk pada sumber penghormatan pada materi dan kekuasaan. Mengangungkan jabatan dan kekayaan. Pada akhirnya, kemuliaan dan keberkahan hidup termanipulasi oleh yang material dan artifisial. Orang menjadi obsesif mengejar pangkat jabatan dan kekayaan.
Dalam sistem masyarakat seperti itu bahkan orang lupa, bahwa kekayaan yang berputar dan menumpuk pada segelintir orang itu dapat membahayakan bagi kepentingan negara dan rakyat kebanyakan. Masyarakat abai bahwa sistem ekonomi yang tidak adil itu mengancam berlangsungnya hidup bersama.
Pajak Harta
Dalam kasus pamer harta, tuntutan moral penting, tapi kita harus tuntut juga tindakan riil dalam bentuk perubahan sistem. Salah satu yang diperlukam adalah pajak harta atau pajak harta bersih kepada khusus orang-orang kaya dan superkaya di Indonesia.
Tarif pajak kekayaan ini bersifat progresif. Semakin besar kekayaanya maka semakin tinggi tarifnya. Tujuanya adalah untuk mengurangi konsentrasi kekayaan pada segelintir orang kaya. Mencegah agar monopoli kekayaan dapat pengaruhi kebijakan negara dan kesewenang wenangan.
Pajak harta atau kekayaan bersih adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan aset pribadi. Mencakup uang tunai, deposito bank, real estat, aset dalam program asuransi dan pensiun, kepemilikan bisnis yang tidak berbadan hukum, sekuritas, dll. Pajak kekayaan ini merupakan pajak atas komponen harta pribadi dikurangi dengan utang. Jadi bisa disebut sebagai pajak harta atau kekayaan bersih.
Pajak harta ini sangat penting terutama bagi negara-negara yang kesenjangan kekayaanya sangat tinggi seperti Indonesia yang angkanya sudah sangat ekstrim. Angka Gini Ratio Kekayaan kita saat ini sudah 0,77.
Orang dewasa Indonesia 83% kekayaanya hanya di bawah Rp150 juta. Rata rata dunia 58%. Mereka yang kekayaanya di atas Rp1,5 miliar itu hanya 1,1%. Padahal rata rata dunia 10,6%. (Suissie Credit, 2022). Dari 4 keluarga kekayaanya sama dengan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin (Oxfarm, 2021).
Saat ini pajak harta sudah banyak diterapkan di 36 negara seperti : Prancis, Jerman, Norwegia, Hungaria, Swiss dan lain lain. Padahal negara-negara tersebut tingkat kesenjangan kekayaanya sudah cukup rendah.
Kita tahu, sumber kekuasaan kuno paling penting itu adalah penguasaan atas properti, kekayaan atau harta. Jika ini kita biarkan liar dan liberal seperti saat ini, maka bahayanya bukan hanya timbulkan kecemburuan sosial, tapi kuasa oligarki dan kesewenang wenangan elit politik dan elit kaya akan terus mengemuka. Untuk itulah pajak harta atau kekayaan bersih (wealth tax) menjadi penting.
Jakarta, 27 Februari 2023
SUROTO
Ketua AKSES Indonesia dan CEO INKUR Federation
Suroto