JAKARTA, jurnal-ina.com – Koperasi di tanah air akhir-akhir ini reputasinya sedang di titik nadir kehancuran. Pasalnya, setiap hari dilakukan pengumuman dan publikasi tentang kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) potensi gagal bayar hingga dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
PPATK mengumumkan tentang dugaan potensi kerugian uang anggota atas koperasi gagal bayar KSP Indosurya saja sebesar Rp106 triliun dan juga pengumuman dugaan penggunaan koperasi sebagai tempat pencucian uang sepanjang 2020 -2022 sebesar Rp500 triliun.
Padahal, menurut data OJK, KSP keseluruhan itu assetnya hanya 101 triliun rupiah atau 1% dari total nilai asset bank komersial sebesar 10.112 triliun rupiah (OJK, Desember 2021). Apalagi telah terbukti di lapangan bahwa yang diklaim uang gagal bayar oleh anggota koperasi di KSP Indosurya itu hanya 26 triliun rupiah.
Angka-angka yang dikeluarkan PPATK itu sepertinya hanya bersifat sensasional dan bombastis yang mendorong perusakan citra koperasi. Tindakanya terlalu gegabah serta dapat mengakibatkan masalah sistemik munculnya koperasi gagal bayar lainya karena menjadi provokasi. Sebagai tindakan yang secara hukum harus juga dapat dipertanggungjawabkan.
Pihak Kementerian Koperasi dan UKM yang seharusnya juga turut menjaga reputasi dan kepercayaan anggota dan masyarakat di koperasi justru melakukan tindakan yang tidak tepat dan kontraproduktif dengan umumkan dan publikasi luas soal koperasi bermasalah.
Setiap lembaga keuangan dan tak terkecuali koperasi pasti punya resiko gagal bayar. Sebabnya bisa karena masalah internal ataupun karena masalah eksternal. Secara internal masalahnya bisa karena kesalahan manajemen dan atau disebabkan oleh tindakan korupsi atau penyalahgunaan wewenang oleh pihak pengurus atau manajemen.
Masalah tersebut semua mestinya dapat diketahui sumbernya jika dilakukan melalui penyelenggaraan Rapat Anggota. Sebab menurut hukum koperasi, Rapat Anggota Koperasi adalah merupakan forum tertinggi di koperasi.
Satgas Koperasi Bermasalah yang dibentuk oleh Kemenkop dan UKM telah melakukan tindakan yang keliru dengan pertama-tama umumkan koperasi bermasalah secara luas dan bukanya ditangani masalahnya. Sehingga masalah menjadi semakin runyam karena dapat mendorong rush atau penarikan uang secara besar-besaran dan justru membuat koperasi mengalami masalah lebih serius yang potensial membuat uang anggota koperasi justru sulit kembali.
Melakukan Kesalahan
Satgas juga telah melakukan kesalahan yang fatal, bukanya mendorong untuk dudukkan perkara yang dihadapi melalui mekanisme internal koperasi terlebih dahulu namun langsung mendorong penyelesaian kasusnya ke pengadilan. Putusan homologasi atau putusan pengadilan untuk dilakukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( PKPU) dan juga pemailitan tentu hanya akan merugikan anggota. Potensi pengembalian uang anggota justru semakin kecil.
Jika Satgas itu bekerja untuk kepentingan anggota koperasi lebih banyak, seharusnya koperasi didorong untuk lakukan Rapat Anggota secara demokratis. Bahkan jika masalahnya lebih serius semestinya dapat juga mendorong forum Rapat Anggota untuk meminta pemerintah membentuk manajemen “care taker ” demi melakukan pemulihan manajemen koperasi dan jaga kepentingan publiknya . Bukan tidak mungkin malah dapat berkembang prospeknya menjadi lebih baik.
Kehadiran Satgas Koperasi Bermasalah yang dibentuk oleh Kemenkop dan UKM sepertinya bukan justru membantu selesaikan masalah namun sepertinya justru membuat masalah semakin ruwet. Harus ada upaya investigasi dan juga evaluasi terhadap kerjakerja Satgas selama ini.
Masalah koperasi gagal bayar selama ini tentu bukan masalah yang berdiri sendiri juga. Ada masalah yang muncul karena kelalain pemerintah dan juga tindakan dikriminasi regulasi dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Koperasi dari sejak tahun 2000-an telah mengusulkan dilakukan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana yang pemerintah lakukan untuk bank.
Bukannya mendapatkan penjaminan LPS, di UU Omnibus Law Penguatan Dan Pengembangan Sektor Keuangan UU PPSK) yang baru saja diketok, koperasi tidak diberi jamiman LPS, bahkan jika hadapi krisis keuangan dan ekonomi tidak dimasukkan sebagai lembaga yang mendapat bantalan akhir penyelematan seperti halnya Bank Komersial dan Asuransi.
Selain itu, Kementerian Koperasi dan UKM itu juga sudah diperintahkan oleh UU No. 25 Tahun 1992 tentan Perkoperasian, sebagai UU yang masih berlaku untuk bubarkan koperasi papan nama dan juga koperasi abal-abal. Tapi otoritas ini tidak dilakukan oleh Menteri Koperasi dan UKM. Instansi itu bukanya lakukan tindakan preventif seperti yang diperintahkan UU, namun justru fokus ke tindakan kuratif dan bombastis.
KSP diketahui adalah pesaing yang pontensi menjadi besar bagi bank komersial kapitalis. Sebab jika koperasi menjadi tempat yang aman dan dijamin simpananya seperti halnya bank dan bagikan keuntunganya kepada anggotanya atau nasabah dalam istilah bank, maka niscaya koperasi dapat membesar seperti di negara lain. Seperti di Jerman yang kuasai pangsa pasar keuangan hingga 74% dan jadi lembaga keuangan terbaik seperti di Canada dan Prancis misalnya.
Pertanyaanya, kenapa seperti ada upaya struktural, sistematis, penghancuran koperasi?
Jakarta, 17 Februari 2023
Suroto
Suroto
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com