JAKARTA, jurnal-ina.com – Perjuangan buruh di Indonesia adalah perjuangan panjang yang melelahkan. Di era digital ekonomi yang katanya memberikan banyak peluang ekonomi, nasibnya ternyata semakin buruk.
Digititalisasi ekonomi mendorong proses informalisasi dan eksploitasi buruh dalam skala yang berkecenderungan semakin masif. Nasib mereka terhempas dari lintas bisnis modern.
Secara formal, saat ini ada 12 Konfederasi organisasi buruh di Indonesia. Terdiri dari 114 Federasi dan ribuan serikat pekerja. Jumlah buruh formal ada 48 juta orang dan ada 2,7 juta yang bergabung di Serikat Kerja. Jadi hanya ada 5,6% jumlah buruh formal yang bergabung di serikat pekerja.
Dari angka-angka tersebut terlihat bahwa gerakan serikat pekerja di Indonesia belum masif atau baru ada 5 dari 100 orang yang bekerja secara formal dan aktif memperjuangkan haknya secara kolektif.
Angka itu dalam sepuluh tahun belakangan mengalami penurunan anggota cukup signifikan. Dari sekitar 3,7 juta orang menjadi 2,7 juta orang. Sementara jumlah organisasinya semakin bertambah terus.
Proses informalisasi buruh dalam ekonomi serba digital saat ini juga terjadi semakin parah. Jumlah terus semakin banyak dan nasib semakin tidak jelas. Mereka terbuang dari kantor dan klesetan di trotoar jalanan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja informal mencapai 78,14 juta orang pada Februari 2021, naik 2,64 juta orang dibandingkan Agustus 2020 yang sebanyak 77,6 juta orang.
Pengojek online misalnya, mereka bekerja tanpa jaminan sosial, tanpa serikat, tanpa partisipasi pembuatan kebijakan perusahaan. Mereka juga harus menyerahkan modal dan tanggung biaya pemeliharaan serta tanggung resiko kerja tinggi di jalanan.
“Kemitraan” dan “Kolaborasi” adalah istilah paling tragis yang tempatkan para buruh menjadi semakin buruk. Nasib mereka ditentukan oleh admin robotik yang setiap saat dapat memutus seluruh ruang hidup mereka tanpa dapat menuntut.
Digital ekonomi tak hanya sisakan residu kemanusiaan, tak hanya aleniasi nilai tambah produk dari hasil kerja buruh, tapi singkirkan mereka jauh dari tanggungjawab perusahaan.
Miskin Isu Perjuangan
Organisasi buruh hari ini terlihat menjadi miskin isu perjuangan. Perjuangan buruh masih didominasi isu kuno seputar kenaikan gaji, perbaikan status buruh dari outsourching menjadi buruh tetap dan persoalan pemutusan hubungan kerja serta kasus lainya seperti pelecehan seksual di tempat kerja.
Persoalan mendasar isu perburuhan belum menyentuh substansi persoalan mendasar, seperti misalnya tuntutan kepemilikkan saham bagi buruh (employee share ownership plan-ESOP), pengembangan koperasi bagi para buruh dan keluarganya serta demokratisasi BUMN dan BUMD dan lain sebagainya.
Kita terlihat begitu tertinggal jauh di belakang dibandingkan dengan perjuangan buruh di luar negeri. Sebut saja misalnya Amerika Serikat yang kita tuduh sebagai negara kapitalis sekalipun.
Mereka sudah tuangkan regulasi tentang kepemilikan saham secara formal pada tahun 1974. Bahkan tuntutan mereka saat ini sudah pada tahap Demokratisasi ESOP dengan tuntutan kepemilikkan saham untuk buruh sebesar 51%.
Adagiumnya, perusahaan mencetak keuntungan berasal dari keringat mereka bukan hanya modal finansial. Menyerahkan seluruh keuntungan hanya pada pemilik modal finansial adalah pelecehan kemanusiaan.
Secara politik, saat ini memang telah lahir partai buruh. Mereka telah dinyatakan lolos untuk kontestasi dalam Pemilu 2024. Namun konsolidasi secara ideologis belum terlihat.
Partai Buruh yang ada masih tersetir oleh kepentingan kapitalisme, ini terlihat dari slogannya yang secara letter likj bercita cita ingin mencapai sistem “Negara Kesejahteraan” atau Neo – Kapitalisme. Satu hal yang seharusnya ditentang secara mendasar.
Semestinya, isu partai buruh itu jika secara ideologis mau menjadi aspirasi besar kepentingan rakyat, isu tentang pemilikan saham buruh untuk BUMN dan perusahaan swasta, penerapan rasio gaji tertinggi dan terendah, perjuangan penerapan rasio gaji, pembubaran sistem kerja outsourching (alih daya) dan lain-lain semestinya lebih menonjol. Bahkan termasuk penghapusan sistem pekerja rumah tangga (PRT) yang merupakan bentuk perbudakan dan feodalisme warisan kolonialisme harusnya menjadi bagian penting dari isu perjuangan politik buruh.
Pokok perjuangan isu perburuhan di seluruh dunia sangat tergantung kepada organisasi serikat buruh itu sendiri. Selain tentu daya dukung para reformis sosial dan intelektuil aktivis. Konsolidasi politik ideologis sangat penting untuk rombak regulasi dan kebijakan ke arah agenda demokratisasi ekonomi dan politik lebih luas.