JAKARTA, jurnal-ina.com – KEJADIAN seru dan berkesan sering tidak direncanakan. Dan itu terjadi beberapa waktu silam. Sebelum Covid-19 mewabah. Kami dipertemukan pertama kali tanpa sengaja di ruang tunggu kantor kementerian di bilangan Gambir, Jakarta Pusat.
Anaknya masih muda. Laki-laki. Lebih banyak diam. Dari wajahnya, saya menangkap raut kesedihan, meski berusaha disembunyikan dibalik senyumnya yang terkesan datar. “Saya habis kena apes,” ujarnya lirih seolah menjawab rasa penasaran saya.
Namanya Hendra. Belum lama lulus sarjana dari Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur. Jurusan Perikanan. Pemuda berambut ikal ini mengaku dirinya masih trauma. Dia berkisah, ditangkap petugas kepolisian dari Polairud. Pada saat itu ia dan dua rekannya sedang mengembangkan Aquatech (Aqua Culture Control System), teknologi penetasan telur lobster di pantai selatan Jawa Timur.
“Tiba-tiba kami digrebek. Dituding macam-macam. Pengepul benih lobster dan melanggar Permen. Kami gak diberi kesempatan membela diri, yah wes…apes mas. Kami rugi ratusan juta. Sempat ditahan dalam sel,” ceritanya dengan nada sedih dan bingung tanpa tahu apa kesalahannya.
Pasca peristiwa itu, Hendra sempat down. Bingung bercampur kecewa. Bingung, tak tahu harus kemana. Apalagi disaat bersamaan dia terdesak segera mengembalikan kerugian dana yang dialaminya. Kecewa, karena merasa karyanya yang notabene karya anak bangsa tidak dihargai di negerinya sendiri.
Di tengah masa “terpuruk” tiba-tiba datang tawaran dari perusahaan perikanan Vietnam untuk pindah ke negeri tetangga itu dengan iming-iming fasilitas dan penghasilan menggiurkan. Rupanya mereka sudah mencium aroma wangi berpotensi menghasilkan cuan banyak dibalik inovasi yang dikembangkan Hendra. Tawaran itu cukup menggoda. Beberapa kali ponselnya berdering. Suara staf perusahaan asing itu terdengar nyaring membujuknya. Hendra dilematis.
Beruntung, pertolongan melalui orang-orang baik yang sepertinya dikirim Tuhan yang membesarkan hatinya. Hendra memutuskan tidak kemana-mana. Tetap bertahan di Indonesia. Dan mengabaikan tawaran perusahaan Vietnam.
Budidaya lobster di Puger, Jember, Jawa Timur
“Melalui kawan, saya dipertemukan dengan jaringan orang-orang baik hati yang secara ikhlas mau membantu saya untuk bisa bangkit dari kegagalan. Saya diberi motivasi, dorongan, inspirasi dan mengingatkan bahwa kegagalan itu adalah keberhasilan yang tertunda,” kenang Hendra yang mengaku masih menyimpan rasa nasionalisme dalam dirinya.
Tak Patah Arang
Itu dulu. Kini Hendra sudah melupakan “cerita kelam” yang menimpa dirinya. Dia tak patah arang. Tak ingin larut dalam kegagalan. Cepat bangkit dari keterpurukan. Bahkan bisa memetik hikmah dari peristiwa tersebut.
Dia lebih percaya diri menatap dan menjemput masa depan dengan membantu dan menginisiasi kembali para nelayan untuk melanjutkan budidaya lobster dengan inovasi berbasis teknologi. “Sudah ada tempat percontohan budidaya lobster di Puger, Jember,” katanya optimis.
Pada mulanya, inovasi ini hadir karena keresahan Hendra melihat banyaknya nelayan yang kehilangan pekerjaan dari budidaya ikan kerapu di Situbondo, Jawa Timur. Harga ikan kerapu yang turun drastis membuat para nelayan harus menanggung dampaknya. Mereka kerap kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal Situbondo dan sekitarnya dikenal daerah potensial budidaya lobster.
Seperti dilansir laman Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bahwa satu induk lobster bisa menghasilkan 25-50.000 naupliosoma atau anakan yang baru menetas. Dari jumlah itu, hanya satu persennya bisa bertahan dan menjadi benih bening lobster.
Selama ini dengan teknik budidaya konservatif, tingkat keberhasilannya rata-rata hanya 25%. Sulitnya budidaya lobster karena habitat seperti terumbu karang yang rusak menyusahkan lobster bereproduksi. Bahkan di Jawa Timur saja, sekitar 70% terumbu karang telah rusak.
Di Indonesia, lobster air laut (Panulirus sp) juga disebut dengan nama udang barong atau udang karang. Selain itu, lobster juga memiliki berbagai nama daerah. Seperti urang takka (Makassar), koloura (Kendari), loppa (Bone), hurang karang (Sunda), udang puyuh (Padang) dan lain-lain.
Teknologi yang diperkenalkan Hendra pada 2016
Kesulitan para nelayan sebenarnya sedikit berkurang dengan teknologi Aquatech yang diperkenalkan Hendra pada2016. Tapi dia belum puas. Masih perlu inovasi lanjutan. Kurang lebih dua tahun dia melakukan riset. Lalu Hendra mengajak rekannya membuat satu kotak sensor berbasis Internet of Things (IoT) untuk mengontrol kualitas air. Kotak itu ditaruh di keramba, kemudian disambungkan ke aplikasi di komputer milik Hendra. Namanya: Lobstech!
Prinsip kerjanya sederhana. Membudidayakan lobster dengan mengontrol kualitas, tingkat oksigen, serta keasaman air menjadi stabil. Nantinya, data akan dikumpulkan dalam sistem dan ditampilkan melalui aplikasi Lobstech. Nelayan dapat menganalisis data tersebut secara real time untuk mengambil langkah tertentu dalam budidaya lobster.
Selain itu, aplikasi juga menyediakan dashboard yang bisa mengontrol kegiatan budidaya lobster dari mana pun. Sehingga para nelayan dapat melihat pertumbuhan udang dan mengontrol kualitas air melalui dashboard ini.
Lalu pengontrolannya juga tidak sulit. Ada alarm dalam dashboard. Lewat sistem warning itu, para nelayan akan mendapatkan notifikasi jika kotak sensor mengalami masalah atau memberikan pemberitahuan tertentu.
Alhasil, implementasi IoT yang dikembangkan Hendra berbuah manis. Lobstech terbukti mampu meningkatkan produksi lobster hingga 80% dan menghemat biaya produksi lebih dari 70% dibandingkan cara konvensional. Masa budidaya lobster pun semakin pendek. Sebelumnya 8 bulan, hanya menjadi 5-6 bulan saja sekali panen.
Meski tergolong cepat panen, Hendra memastikan lobster yang dihasilkan tetap berkualitas baik. Misalnya, seekor lobster dengan berat 100 gram bisa didapat dalam waktu satu bulan saja. Padahal sebelumnya, diperlukan waktu sekitar 8-10 bulan untuk mendapatkan lobster dengan berat yang sama.
Awalnya, hanya beberapa nelayan yang mau bekerjasama. Namun perlahan, karena melihat skema dan sistem sensor yang dibuat Hendra bisa mempercepat pertumbuhan lobster, para nelayan pun berbondong-bondong mendaftar dan bekerjasama dengannya.
Masa depan budidaya yang sangat menjanjikan
Dalam prakteknya, Hendra tidak melepas nelayan begitu saja. Dengan mengusung sistem budidaya lobster yang terintegrasi, dia dan timnya memberikan konsultasi serta kontrol kepada mitra sehingga mampu menghasilkan 3.600 ekor lobster per bulan. “Sebenarnya inovasi teknologi dapat diterapkan oleh sektor mana pun, asal masyarakat diberi pendampingan yang maksimal,” ungkapnya.
Untuk mengembangkan sensor yang tingkat akurasinya lebih tinggi, Hendra melakukan penjajakan dengan sebuah perusahaan asal Jerman. Karena ke depan, Lobstech ingin teknologinya dipakai oleh nelayan maupun pembudidaya lobster di Indonesia. Dan sistem teknologinya juga diharapkan bisa menyesuaikan dengan seluruh perairat laut di Indonesia.
KERJA keras Hendra dalam penerapan teknologi berhasil mengantarkan dirinya menyabet penghargaan sebagai peraih Apresiasi SATU Indonesia Awards (SIA) tahun 2021 yang digelar Astra.
Selain bangkit dari keterpurukan untuk terus berinovasi, terselip pesan moral dari serpih jejak Hendra. Apa itu? Refleksi kegigihan mencintai Indonesia. Bicara kegigihan Hendra, membuat saya jadi teringat perahu tradisional Pinisi yang legendaris. Punya layar tujuh, bertiang dua, dan mampu menerjang gelombang.
Meski kerap sepi dari sorotan lampu publikasi, setidaknya Hendra telah menunjukkan kontribusi dengan berkarya untuk negeri yang dicintainya. Kegigihan Hendra memberi inspirasi dan motivasi, terutama bagi generasi muda, agar percaya diri mengarungi samudera. Dan tak kalah penting: jangan kapok mencintai Indonesia!
RUSMAN MADJULEKKA
Hendra, sarjana perikanan Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur. Foto: RM
Artikel ini sudah terbit di govnews-idn.com