JAKARTA, jurnal-ina.com – “Berulang kali aku mencoba, S’lalu untuk mengingatkan. Tapi semua hilanglah sudah ditelan dusta, tinggal cerita….,” demikian lirik penyanyi legendaris Betharia Sonata dalam lagu “Hati yang Luka.”
Agaknya Betharia Sonata tidak berlebihan. Penggalan lirik lagu yang populer ditahun 1980-an tersebut sedikit menggambarkan potret berbagai insiden dan tragedi persepakbolaan nasional yang terus berulang kali terjadi hingga menewaskan suporter.
Sejak Mochamad Iriawan terpilih menjadi Ketua Umum PSSI pada November 2019, pembahasan publik tak pernah sepi menyoal topik yang ramai belakangan. Apa lagi kalau bukan kerusuhan dan insiden kekerasan suporter yang telah membuat banyak korban jiwa berjatuhan. Yang terakhir “Tragedi Kanjuruhan” yang dikabarkan menewaskan 129 suporter tuan rumah Arema Malang pasca laga derby Jawa Timur melawan Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam. Dan ratusan supporter lainnya mengalami luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Sebenarnya alarm bahaya sudah dibunyikan sejak tiga tahun terakhir. Di mana penulis mencatat beberapa insiden demi insiden kerusuhan maupun kekerasan suporter selalu berulang. Termasuk skandal match fixing atau pengaturan skor di Liga 2 yang dihadapi oleh Perserang Serang dan dugaan yang sama terjadi di liga 3 daerah Jawa timur (PS Mojokerto Putra), kini telah dilimpahkan ke Polda Metro Jaya.
Pada 25 Juli 2022, kabar duka datang dari suporter PSS Sleman, Tri Fajar Firmansyah, yang jadi korban tewas kerusuhan di Yogyakarta. Sebelumnya Tri sempat mengalami koma selama beberapa hari di rumah sakit karena mengalami retak pada bagian kepala. Diduga dikeroyok oleh beberapa oknum suporter dari klub lain.
Tragedi memilukan kembali terjadi di sepakbola Indonesia. Dua orang suporter harus meregang nyawa saat datang ke stadion untuk mendukung tim kesayangannya bertanding. Keduanya merupakan Bobotoh, sebutan suporter Persib Bandung, yakni Ahmad Solihin warga Cibaduyut dan Sopiana Yusuf warga Bogor. Keduanya kehilangan nyawa karena berdesakan dan terinjak-injak untuk masuk ke dalam stadion menyaksikan duel antara Persib vs Persebaya Surabaya dalam lanjutan Piala Presiden 2022, Jumat (17/6/2022) di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) Bandung.
Belum lagi berbagai kasus kerusuhan supporter yang berujung pengrusakan fasilitas stadion di berbagai tempat, seperti pada kompetisi Liga 1 maupun Liga 2. Misalnya di stadion Gelora Delta Sidoarjo pasca Persebaya dikalahkan Rans Nusantara, di stadion Chandra Braga Bekasi pasca PSIM Yogyakarta gagal mengalahkan Bekasi City FC di pentas Liga 2. Dan beberapa insiden lainnya.
Namun, perlu dicatat pula bahwa sebagian besar terjadi ketika Mochamad Iriawan menjadi orang nomor satu di panggung sepakbola Tanah Air. Sejak dirinya dilantik sebagai Ketua Umum PSSI, November 2019, setidaknya 132 korban suporter meninggal dunia karena sepakbola.
Dalam era kepemimpinan pria yang akrab disapa Iwan Bule ini, kebanyakan kasus dilatarbelakangi kekerasan berupa pengeroyokan. Yang terbanyak adalah korban gara-gara gas air mata yang disemburkan aparat keamanan untuk menghalau suporter di stadion Kanjuruhan Malang. Suporter Arema yang kecewa lalu turun ke lapangan. Mereka kemudian dihadang oleh petugas kepolisian hingga akhirnya terjadi kontrak fisik. Pihak kepolisian lalu meresponnya dengan menembakan gas air mata ke tribun penonton yang disinyalir sebagai awal mula petaka.
Intensitas insiden dan kekerasan pada rezimnya lantas menggiring sejumlah kritik kepada Iwan dari berbagai pihak. Bahkan Presiden Joko Widodo pun ikut bersuara. Dia memerintahkan agar segera dilakukan investigasi. Sebab, itu dia memerintahkan Menteri Pemuda dan Olahraga, Zainudin Amali serta PSSI dan sejumlah jajaran terkait untuk segera menyelidiki peristiwa tragis ini. “Investigasi total atas peristiwa ini, ada yang harus bertanggungjawab,” tegasnya.
Mencermati berulang-ulangnya insiden yang menewaskan nyawa supporter, menunjukkan PSSI tak bisa menemukan solusi konkret dari problem kekerasan suporter dan bahkan terkesan hanya melemparkan tanggungjawan ke pihak lain.
Selama ini menurut penulis, pengusutan terhadap tewasnya suporter tak pernah tuntas. Hanya lips service setelah itu hilang ditelan bumi. Hanya ungkapan prihatin dan belasungkawa yang disampaikan tanpa ada tindakan nyata. “Kami prihatin dan berharap ini kejadian yang terakhir,” begitu kalimat yang sangat familiar ditelinga pencinta sepakbola nasional.
Tembakan gas air mata polisi
Memang miris melihat bahwa sejumlah kasus insiden yang menewasakan suporter tak diusut secara tuntas. Pelakunya tak terjerat hukum. Ambil contoh Tri dan dua bobotoh yang wafat belum lama ini. Saat itu, Iwan selaku Ketum PSSI berjanji untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi tak ada kabar sampai kini. Alih-alih menuntaskannya, kasus tambahan dengan korban jiwa yang lebih banyak di Kanjuruhan kembali hadir membuat Iwan terpojok.
Ketum PSSI Mundur
Publik publik sepakbola Indonesia tentu masih ingat insiden “gol bunuh diri” ke gawang sendiri saat melawan Thailand di Piala Tiger 1998 (sekarang Piala AFF). Pemain tim nasional Mursyid Effendi dihukum FIFA dengan larangan tidak boleh tampil di level internasional seumur hidup.
Pada pengujung pertandingan saat skor imbang 2-2, Mursyid yang berposisi sebagai stopper kemudian secara sengaja menendang bola ke dalam gawang sendiri. Indonesia pun akhirnya kalah 2-3 dari Tim Gajah Putih.
Tujuan Mursyid mencetak gol bunuh diri agar Indonesia menghindari tuan rumah Vietnam pada laga semifinal Piala Tiger. Sialnya, saat berjumpa Singapura, Indonesia kalah 1-2. Selain pemain, Indonesia juga diberi hukuman denda sebesar USD40.000 oleh FIFA. Saat itu Mursyid sebenarnya diberi kesempatan banding, namun PSSI tidak melakukan.
Kasus gol bunuh diri Mursyid Effendi itu membuat Ketua Umum PSSI, Azwar Anas, terpojok. Akhirnya dia memilih mundur untuk kemudian digantikan oleh Agum Gumelar.
Beberapa tahun kemudian, kontroversi terjadi lagi. Diawali munculnya surat kaleng ke media, soal adanya pengaturan skor pada final Piala AFF 2010. Dugaan adanya andil dua oknum petinggi PSSI menjual pertandingan leg pertama final Piala AFF 2010, antara Malaysia melawan Indonesia mencuat ke permukaan menyusul aduan Eli Cohen melalui surat elektronik yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu.
Transkrip surat menyebutkan ada kejanggalan hasil akhir 3-0 untuk tuan rumah Malaysia. Kekalahan Indonesia sepertinya sudah ditentukan sebelum pertandingan dimulai, karena diduga ada skandal permainan suap yang dilakukan bandar judi Malaysia dengan oknum petinggi PSSI.
Dengan kekalahan itu, baik bandar judi Malaysia maupun oknum petinggi PSSI telah meraup untung puluhan miliar rupiah. Untuk melancarkan operasinya, kedua oknum petinggi PSSI sempat masuk ke ruang ganti pemain dan memberikan instruksi skenario busuk kepada oknum pemain yang akhirnya berulah hingga menjatuhkan mental seluruh tim.
Eli Cohen tidak hanya menuding oknum petinggi PSSI sebagai penyebab kekalahan Tim Merah-Putih, tetapi juga menuding sejumlah nama petinggi PSSI yang mendapatkan keuntungan besar dari kekalahan tersebut.
Mencuatnya surat elektronik itu membuat posisi Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid, tersudut. Sejak tersandung kasus korupsi yang berujung masuk bui, tekanan meminta politisi asal Partai Golkar tersebut mundur dari PSSI deras mengalir. Puncaknya saat Menpora, Andi Mallarangeng, mengeluarkan surat pembekuan aktivitas PSSI yang akhirnya memaksa Nurdin mundur.
Terakhir, sesuai perintah Presiden Jokowi untuk mengusut tuntas “tragedi kanjuruhan” secara berkeadilan maka disarankan negara atau pemerintah membentuk Tim Investigasi Independen. Bukan tim bentukan PSSI, karena federasi merupakan bagian yang terperiksa.
Bukankah Pasal 359 KUHP bisa dikenakan terhadap penyelenggara kompetisi, Ketua Umum PSSI dan operatornya PT LIB diduga lalai dan tidak mampu membuat pengamanan sehingga mengakibatkan tewasnya penonton?