JAKARTA, jurnal-ina.com – Dalam kasus suap hakim Mahkamah Agung (MA) terkait perkara upaya mengintervensi putusan kasasi atas perkara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana adalah tindakan kriminal yang lagi-lagi mencoreng nama baik institusi penegak hukum. Semua yang terlibat harus diproses secara hukum dan diberikan sanksi berat.
Di luar perkara tindak pidana atas kasus suap yang terjadi, sebetulnya jika ditilik lebih mendalam kasus hukum yang sedang diperkarakan di MA, ada banyak misinterpretasi hukum terhadap regulasi koperasi dan bahkan penulis mencurigai ada upaya sekelompok orang untuk mengarahkan ke putusan hukum yang salah dari sejak semula.
Kasus suap tersebut sebagaimana kita ketahui adalah upaya untuk mengintervensi putusan homologasi atau kesepakatan damai pembayaran kewajiban di tingkat kasasi agar dapat diarahkan ke putusan pailit.
Dari sejak kasus koperasi simpan pinjam gagal bayar dibawa ke pengadilan, sesungguhnya sudah ada kesesatan hukum dari sejak awal. Putusan hakim tentang homologasi itu sudah salah. Termasuk pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM yang mendorong kasus ini kearah pengadilan juga sudah salah.
Para pihak yang berperkara diinterpretasikan sebagai para pihak mengambil putusan sebagaimana dalam kasus perbankan, atau korporasi bukan pada institusi Koperasi Simpan Pinjam yang tunduk pada perundang-undangan perkoperasian.
Tapi rupanya kesalahan ini jadi seperti “lubang hukum” yang terus dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang terkait dengan kasus ini untuk potensi dijadikan sebagai upaya hukum meringankan pihak pengurus dan manajemen.
Putusan homologasi, adalah putusan pengadilan. Padahal menurut hukum koperasi, perkara yang terjadi sebetulnya bukan perkara menyangkut kewajiban pihak perusahaan dengan pihak luar.
Perkara yang terjadi sesungguhnya adalah perkara internal perusahaan atau organisasi koperasi karena perkara yang terjadi itu menyangkut pihak pemilik (anggota) dengan struktur manajemen di dalam mereka sendiri pengurus dan manajer sebagai pengelola perusahaan yang diangkat oleh anggota melalui Rapat Anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi koperasi.
Secara Internal
Kasus gagal bayar koperasi tidak ada kaitanya dengan perkara pihak lain di luar perusahaan seperti halnya pada nasabah bank terhadap institusi bank. Sehingga semestinya penyelesaianya dilakukan secara internal.
Putusan homologasi sebetulnya secara hukum sudah memenangkan pihak manajemen yang dalam hal ini adalah pengurus dan manajer sebagai penanggungjawabnya. Kerugian pada pihak anggota. Sebab putusan ini berarti telah menutup adanya pengungkapan masalah sesungguhnya yang bisa jadi kemungkinan terjadinya potensi penyelewengan kewenangan oleh manajemen yang sebetulnya bisa masuk sebagai kategori tindakan kriminal.
Kasus gagal bayar bagi koperasi itu semestinya diselesaikan dulu melalui Rapat Anggota koperasi yang merupakan institusi pemegang kekuasaan tertinggi di koperasi. Masalah-masalah yang ada semestinya diselesaikan terlebih dahulu di tingkat internal. Pihak Kementerian Koperasi dan UKM sebagai penjaga kepentingan publik koperasi semestinya cukup memastikan bahwa Rapat Anggota dapat segera dilaksanakan secara demokratis.
Logikanya, pengurus dan manajemen serta pengawas itu adalah orang yang diangkat dan diberhentikan oleh anggota melalui rapat anggota. Mereka semestinya pertanggungjawabkan dahulu masalah yang terjadi di RA kepada anggota sebagai pemilik perusahaan atau organisasi, bukan dibawa ke ranah pengadilan.
Kemenkop dan UKM melalui Satgas Koperasi Bermasalah yang mendorong terus upaya penyelesaian masalah koperasi gagal bayar ke arah homologasi saat ini adalah tindakan yang tidak benar dan justru membuat masalahnya menjadi semakin ruwet, bukan menjadi semakin terang benderang.
Satgas Koperasi Bermasalah Kemenkop dan UKM dengan rekomendasinya untuk membawa ke arah pengadilan ini juga telah membuat masalah semakin runyam bukan hanya pada kasus KSP Intidana namun kepada koperasi-koperasi bermasalah lainya yang saat ini sedang berperkara. Sebut misalnya KSP Indosurya, KSP Sejahtera Bersama dan banyak lagi.
Bisa dimengerti kenapa Kemenkop dan UKM dalam hal ini mendorong penyelesaian-penyelesaianya ke pengadilan, sebab Kemenkop dan UKM selama ini juga yang telah menglorifikasi mereka dengan pemberian banyak predikat koperasi baik sebelumnya. Jadi mereka tidak mau kalau juga disalahkan karena pihak Kemenkop dan UKM tahu persis kalau koperasi-koperasi bermasalah itu sebetulnya telah menyimpang dari ketentuan prinsip-prinsip koperasi yang jadi satu-satunya denominator sah koperasi, alat ukur satu koperasi layak disebut sebagai koperasi atau bukan koperasi yang direkognisi di UU Perkoperasian yang berlaku saat ini.