JAKARTA, jurnal-ina.com – Ketika pertanyaan diajukan kepada kita, siapa pemilik BUMN itu? Jawaban simpelnya adalah negara. Ini sesuai dengan nomenklatur dari perusahaan tersebut, Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Selanjutnya, ketika negara ini diasumsikan pengelolaannya telah diserahkan kepada pemerintah, maka pemerintah dianggap menjadi pemegang kuasa pengelolaan seluruh BUMN.
Dikarenakan pemerintah itu dipimpin oleh seorang Presiden, seakan dialah menjadi pemegang otoritas mutlak atas seluruh BUMN yang kemudian didelegasikan kewenangannya kepada menterinya, terutama Menteri BUMN.
Menteri BUMN akhirnya atas nama Presiden menentukan siapa yang menjadi komisaris, menjadi direksi BUMN. Termasuk menentukan kearah mana perusahaan.
Padahal, jika kita menilik lebih jauh makna yang terkandung dalam Konstitusi kita, kedaulatan atau kekuasaan mutlak dari negara ini sebetulnya adalah di tangan rakyat, bukan di tangan Presiden apalagi seorang menteri. Jadi seharusnya rakyatlah yang punya hak otoritatif atas pengelolaan seluruh BUMN tersebut.
Dalam rezim demokrasi, asas pengelolaan langsung perusahaan negara oleh rakyat itu jadi inti. Demokrasi ekonomi semestinya memberikan peluang partisipasi aktif rakyat dalam proses ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi. Disebutkan secara tegas dalam penjelasan pasal 33 UUD 45, bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi itu ialah koperasi.
Kenapa koperasi? Sebab model bangun perusahaan koperasilah yang memungkinkan bagi seluruh rakyat untuk dapat memiliki perusahaan BUMN. Artinya memiliki itu juga turut ikut menentukan, mengendalikan dan menikmati hasilnya. Hukumnya jelas, apa yang tak kamu miliki itu maka tak dapat kamu kendalikan.
Melalui sistem koperasi, semua warga berarti turut berpartisipasi aktif dalam kepemilikan. Inilah arti dari sistem demokrasi ekonomi yang diartikan turut berpartisipasi aktif.
Analogi sederhananya seperti ini, jika anda, anggota koperasi Perusahaan Listrik Negara (PLN)maka artinya anda adalah pemilik perusahaan sekaligus pelanggannya. Sebagai pelanggan anda berhak atas layanan, namun anda juga turut menentukan arah perusahaan, ikut memilih komisaris dan direksi, ikut tentukan arah bisnis PLN dan sekaligus punya hak mengontrol dan hak atas keuntungan PLN.
Dalam praktek, contoh perusahaan listrik yang dimiliki oleh pelanggannya itu misalnya Koperasi National Rural Elextricity Cooperative Association (NRECA) yang beroperasi di Amerika Serikat. Koperasi ini beroperasi di hampir seluruh negara bagian Amerika Serikat. Rakyat pelanggannyalah yang jadi pemilik riil. Bukan hanya pemilik “seakan-akan” seperti dalam model PLN kita.
Jika UUD 1945 menganut sistem demokrasi ekonomi, kenapa prakteknya menyimpang?
Untuk negeri?
Masalahnya ada di Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Disebut bahwa BUMN itu “wajib berbadanhukum Perseroan”. Artinya, koperasi sebagai salah satu badan hukum ficta persona yang diakui negara tidak diberikan kesempatan menjadi bentuk badan hukum koperasi. Koperasi didiskriminasi, tertutup sebagai pilihan bentuk dan badan hukum dari BUMN.
Perlakuan diskriminatif itu akhirnya membuat masyarakat tidak dapat mengendalikan perusahaan BUMN secara langsung dan demokratis seperti dikehendaki Konstitusi. Rakyat seluruh Indonesia kehilangan haknya karena UU BUMN tersebut.
Tak hanya sampai disitu, pelanggaran terhadap Konstitusi lebih lanjut terjadi karena secara redundant di UU BUMN tersebut disebut bertujuan mengejar keuntungan (profit oriented) seperti disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (2), Pasal 2 poin b, Pasal 4 dan Pasal 12.
Akibatnya, seluruh BUMN tidak ada lagi bedanya dengan usaha swasta. Mereka adalah korporasi pengejar keuntungan. Sehingga masyarakat dalam posisi sebagai obyek eksploitasi bisnis semata.
Fakta di lapangan sungguh sangat menyedihkan, rakyat pemiliknya justru jadi korban pengejaran keuntungan mereka. Tarif layanan ditentukan sewenang-wenang, komisarisnya ditentukan oleh selera Presiden atau menteri BUMN. Gaji ditentukan semau-maunya. Paling menyedihkan misalnya, kasus konflik agraria antara rakyat dan korporat itu justru paling banyak terjadi pada perusahaan negara.
BUMN yang ada menjadi kehilangan fungsinya sebagai lembaga pelayanan publik (public servise obligation). BUMN-BUMN sebagai layanan jasa dan produk kebutuhan hajat hidup orang banyak menjadi bersifat komodikatif, sehingga masyarakat luas cenderung menjadi obyek eksploitasinya semata.
Perusahaan BUMN telah terseret jauh menjadi kapitalistik. Jadi ajang pengerukan keuntungan para elit kaya dan elit politik. Bahkan membuka keran bagi dominasi asing terhadap instalasi vital ekonomi negara melalui program privatisasi, deregulasi dan liberalisasi.
Buruh-buruh alih daya (outsourching) jadi korban eksploitasi kemanusiaan di mana-mana sementara komisaris dan direkturnya menikmati gaji ribuan kali lipat dari rasio gaji buruhnya.
UU BUMN dan produk regulasi turunannya menjadi keliru secara basis epistemologis. BUMN keberadaanya bukan dorong terciptanya keadilan dan kemakmuran rakyat namun justru ikut menyumbang ciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Menuju BUMN Demokratis
BUMN kita saat ini ada banyak perusahaan dan ratusan anak dan cicit perusahaannya. Assetnya 8.889 triliun rupiah (Kementerian BUMN, 2021). Bergerak di sektor jasa keuangan, pangan, industri pengolahan, telekomunikasi, asuransi, konstruksi, pengadaaan air, pengolahan sampah, perdagangan, pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, transportasi dan penggudangan dan lain sebagainya.
Andai seluruh BUMN itu dimiliki dan dikontrol langsung oleh rakyat melalui sistem demokrasi koperasi, maka betapa dahsyat kekuatannya. Kekayaan dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat benar-benar dapat diwujudkan.
Tidak perlu ada lagi rakyat yang miskin karena semua menjadi pemilik perusahaan. Tidak perlu ada kesenjangan karena semua sumber-sumber ekonomi dikelola penuh gotong royong dan kekeluargaan.
BUMN yang ada juga akan jadi barometer bagi perusahaan ekologis dan humanis karena seluruh rakyat ikut menentukam keputusan perusahaan. Secara perlahan, beban utang yang selama ini telah menyedot potensi keuntungan BUMN akan dapat disubstitusi oleh bagian keuntungan dari rakyat. Selain itu, dengan model kepemilikan pelanggan ini dapat mendorong perusahaan BUMN menjadi lebih transparan dan akuntabel.
Untuk memulai transformasi besar menuju BUMN Demokratis tersebut, kita dapat mulai dari hal sederhana. Mari kita bersama-sama buat gerakan untuk koreksi kesalahan besar UU BUMN yang telah menyimpang dari UUD 1945.