JAKARTA, jurnal-ina.com – Dulu, di masa Orde Baru yang namanya Usaha Mikro itu diistilahkan sebagai Pegel, singkatan dari Pengusaha Golongan Ekonomi Lemah. Sebelumnya, istilah pegel itu disebut sebagai Pengusaha Golongan Pribumi. Mungkin karena isinya adalah orang pribumi. Untuk bedakan dengan usaha menengah dan besar yang dikuasai non-pribumi.
Golongan ekonomi lemah ini memang membuat pegel. Pemerintah benar-benar pegel menghadapinya hingga pembinaan mereka itu diserahkan saja ke rentenir, preman dan Satpol PP.
Untuk permodalan, mereka terpaksa terima skema pinjaman kepada rentenir dengan bunga rata-rata 30% per bulan. Pinjam uang Rp100.000 rupiah, dipotong di depan Rp10.000 dan mengangsur harian hingga Rp120.000.
Pemerintah seperti sengaja biarkan hal tersebut. Faktanya, dari total rasio kredit yang disalurkan perbankkan tahun 2020 misalnya, hanya 3% yang dialokasikan untuk usaha mikro ini. Bahkan direktur Bank BRI, bank yang katanya milik pemerintah ini mengakui kalau Rentenir itu memang diajak kerjasama dengan mereka (Kontan, 9 Agustus 2021).
Pengusaha mikro itu untuk mendapatkan tempat di trotoar dan pinggir jalan mesti menghubungi preman setempat yang sudah di kapling-kapling. Mereka membayar restribusi tidak resmi untuk mendapatkan tempat jualan.
Atas nama ketertiban, mereka sesekali juga digusur dan ditertibkan oleh Satpol PP. Ini sesekali diekspos ke media agar pemerintah terlihat tegas menjaga ketertiban dan keindahan. Dalam prakteknya terus berjalan kucing-kucingan tanpa kepastian.
Pengusaha golongan ekonomi lemah ini bentuknya adalah usaha warung-warung di rumah, pedagang kaki lima baik di pinggir trotoar atau keliling dari kampung ke kampung. Dari jualan cilok, mainan, bakso, soto dan lain lain.
Menurut Undang-Undang Usaha Mikro Kecil Menengah ( UMKM), usaha mikro adalah usaha dengan kategori omzet tidak lebih dari Rp300 juta. Sementara asset tak lebih dari Rp50 juta.
Berdasar Peraturan Pemerintah yang baru, yaitu PP No. 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, kategori usaha mikro berubah menjadi mereka yang omzetnya tidak lebih dari Rp1 miliar dalam satu tahun.
Dari jumlah usaha yang ada, usaha mikro sebanyak 64 juta dan ini artinya 99,6% pengusaha kita adalah kelas usaha mikro gurem hidup segan mati sungkan. Jadi bisa dibilang jumlahnya hampir sama dengan jumlah kepala keluarga kita.
Suroto
Kementerian Koperasi dan UKM juga tidak mengakui mereka. Setidaknya ini terlihat dari nama kementeriannya, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), tidak ada istilah usaha mikronya.
Usaha mikro ini penghasilan bersihnya sangat kecil. Masih harus menanggung restribusi preman, bayar bunga rentenir yang mencekik dan ditertibkan alias dikejar kejar Satpol PP terus menerus. Modalnya amblas jika ada kebutuhan keluarga yang tak terduga. Hidup mereka semakin buruk terjerat pinjamam rentenir lebih dalam.
Saat ini, usaha mikro ini adalah merupakan penerima bantuan sosial karena mereka banyak yang gulung tikar akibat pandemi. Mereka dan keluarganya hidupnya benar-benar sulit karena tabungan dan harta mereka juga sangat kecil bila digadaikan untuk bertahan hidup. Sesuatu yang kontras kondisinya dengan naiknya jumlah tabungan dari pejabat dan konglomerat di bank-bank.
Pemerintah di masa pandemi keluarkan kebijakan program, tapi angka alokasinya untuk usaha mikro ternyata jauh sekali jika dibandingkan untuk selamatkan usaha mikro dan kecil.
Program atas nama usaha kecil dan mikro dalam bentuk dana penempatan dan modal penyertaan tahun 2020 sebesar Rp124 triliun misalnya, ternyata hanya selamatkan likuiditas bank bukan untuk usaha mikro dan kecil.
Tak hanya itu, lelang proyek di mana-mana dimenangkan usaha besar, diberikan pembebasan pajak, privelege import. Bahkan tanpa sungkan-sungkan pemerintah serahkan leher usaha mikro dan kecil itu masuk dalam penguasaan jaringan data dan distribusi ritel perusahaan perusahaan besar.
Pengusaha besar itu dibiarkan liar merangsek menekan ruang ruang hidup usaha rakyat yang kecil-kecil. Semakin perkuat monopoli dan konsentrasi bisnis konglomerasi.
Usaha mikro, jantung dari usaha rakyat paling banyak ini dibiarkan bersaing hingga berdarah-darah dengan tetangganya. Mereka dibiarkan menjadi sangat rentan dan tak berdaya.
Banyak pakar ekonomi dan juga pejabat berteori, usaha mikro itu akan terus diupayakan agar naik kelas. Program didesign terus-menerus. Sudah dari sejak dulu kala, tapi kenyataanya usaha mikro tetap dalam kondisi pegel. Program pemerintah itu hanya habis jadi mainan makelar proyek dan tak sampai kepada mereka.
Usaha skala mikro gurem seperti terus dipelihara agar tetap ada, bagaimana agar lemah, rentan selamanya. Agar jalin kelindan kerajaan bisnis dan kekuasaan elit oligarkhi langgeng selamanya.
Jakarta, 10 Februari 2021
Suroto
Ketua AKSES INDONESIA (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)
Apakah pedagang kuliner ini sudah masuk jaringan layanan perbankan?