JAKARTA, jurnal-ina.com – Di kala saya diskusi dengan kolega koperasi dari Israel di satu waktu, mereka dengan tegas katakan, “Dikarenakan kami tak punya apapun maka mesti kuasai apapun juga yang ada di bumi ini”. Begitulah prinsip orang-orang Israel yang datang secara koloni dari Eropa ke tanah Kanaan pada masa awal abad 20-an waktu itu.
Nyatanya mereka memang benar, karena sejengkal tanahpun awalnya mereka tak punya. Belum genap seratus tahun, mereka kini telah kuasai dunia dengan bekerjakeras membanting tulang ciptakan sistem pertanian secara koperasi di tanah-tanah tandus padang Sahara.
Sebaliknya, kita sebagai bangsa, dianugerahi potongan surga. Jumlah manusia bercacah besar, sumberdaya alam yang melimpah ruah. Sehingga setiap bangsa yang datang ingin sekali menjajah dan mengeruk semua isi negeri ini. Portugis, Belanda, Inggris, Spanyol dan bahkan Jepang.
Kolonialisme telah menghancurkan seluruh sejarah peradaban kita dan mengeruk seluruh hasil bumi. Juga memperbudak mental dan fisik bangsa ini hingga tak terperi. Dan tanpa kita sadari hal itu masih terjadi hingga hari ini.
Bung Karno bahkan telah memberikan prediksi. Dia katakan suatu saat kelak kamu akan hadapi tantangan lebih berat karena kamu harus hadapi penjajah dari bangsamu sendiri.
Bagaimana kenyataan itu hari ini? Ya, kita dapat lihat apa yang terjadi saat ini. Penjajahan itu memang benar-benar masih terjadi dan semakin menjadi-jadi. Penjajah bangsa asing yang berkongkalikong dengan para politisi, elit pandai dan elit kaya di republik ini.
Kita telah deklarasikan kemerdekaan 75 tahun lebih sebagai bangsa merdeka, tapi sumberdaya alam kita tetap terus dikeruk habis oleh bangsa lain dan elit bangsa ini.
Pertama-tama mereka masuk mengikat kita dengan utang haram. Utang itu disebut haram karena diatur penggunaanya oleh negara-negara maju dengan lembaga agensinya seperti Bank Dunia (world bank) dan International Monetery Fund (IMF) serta organisasi taktisnya.
Utang itu diberikan dengan komitmen hanya boleh untuk bangun infrastruktur fisik. Membangun jalan dan jembatan, waduk, bandara, listrik, pelabuhan dan lain-lain yang sesungguhnya lebih besar demi kepentingan keuntungan mereka. Untuk semata memperlancar investasi mereka sendiri.
Investasi asing itu berupa usaha tambang di berbagai sumberdaya alam seperti emas, nikel, perak, tembaga, batu bara dan lain lain yang tersimpan di dalam bumi. Selain itu mereka juga masuk ke dalam usaha perkebunan monokultur terutama sawit, karet dan lain-lain.
Aktivitas di pertambangan batu bara
Hasil’hasil tambang dan perkebunan itu tentu membutuhkan daya dukung infrastruktur seperti yang tersebut di atas. Juga serobot tanah rakyat di mana-mana. Masyarakat adat yang hidup bertani di mana-mana digebuki.
Tak hanya itu, harga-harga serta stok komoditas itupun mereka kendalikan sedemikian rupa di pasaran Internasional. Sehingga kita nyaris tak punya nilai tambah apapun juga.
Tak cukup sampai di situ. Sebagai satu bangsa yang harusnya paham bahwa bangsa yang maju itu adalah bangsa yang hasilkan makanannya sendiri. Tapi kita disuruh melupakan profesi sebagai petani dan disuruh jadi kuli di pabrik-pabrik milik asing di daerah industri.
Petani-petani kita saat ini hanya jadi kelas buruh tani gurem tak punya tanah lagi alias hanya buruh tani. Dari petani kita yang ada 74%-nya adalah buruh tani tak punya sejengkal tanah lagi. Mereka yang punya tanah kepemilikan per kapitanya hanya tinggal rata rata 0.33 ha lagi.
Sementara itu, para pebisnis elit nasional, segelintir mereka itu hidupnya bergantung pada keistimewaan impor barang pangan jadi dari luar negeri. Bahkan saat ini kita jadi hidup di bawah bayang-bayang inflasi alias kenaikan harga-harga umum karena semua yang kita makan sehari-hari bergantung dari importasi.
Pasar dunia maya juga telah mereka semua kuasai. Tak hanya dalam bentuk investasi dan kepemilikan teknologi, tapi semua konten barang yang dijual di dalamnya. Sebut saja misalnya market place kita ternyata juga telah jadi ajang bulan-bulanan impor barang jadi. Kurang lebih isi market place kita 90% adalah impor barang jadi.
Lihatlah, betapa kita telah kehilangan harga diri, ketika pandemi saat ini terjadi dan kita mestinya pentingkan kebutuhan energi kita sendiri, tapi eksport batubara tetap saja akhirnya kembali dibuka Presiden. Harga minyak goreng melambung mencekik rakyat juga tak dapat kita tanggulangi walaupun kita penghasil minyak sawit terbesar dunia. Tak ada sama sekali rasa malu dari pemimpin pemimpin republik ini.
Kini sedang pañdemi. Rakyat sedang sekarat tak terperi. Tapi kenapa para politisi dan konglomerat Indonesia itu mereka kekayaannya justru semakin meninggi? Sebab mereka telah gadaikan republik ini. Bahkan mereka telah merampas uang rakyat yang hidupnya sedang ngeri melalui korporasi.
Apa yang dijual oleh para politisi di republik ini? Pertama, mereka jualan tarif buruh murah yang hidupnya menderita tak terperi. Kedua mereka menjual sumberdaya alam kita ke luar negeri. Ketiga, kita hanya jadi pasar melimpah produk-produk luar negeri.
Demikianlah cara hidup para politisi. Mereka tak hanya jual harga diri, tapi tak lagi punya martabat untuk angkat derajat harkat dan martabat anak-anak negeri ini.
Jakarta, 7 Februari 2022
Suroto
Rakyat Indonesia
Suroto